BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Novel
merupakan salah satu jenis dari karya sastra prosa yang banyak digemari. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya
judul-judul novel baru yang bermunculan.
Penikmatnya pun semakin lama semakin banyak, mengingat banyak sekali
judul-judul novel yang menyandang gelar “Best
Seller”. Cerita yang diungkapkan
beragam, mulai dari mengangkat tema percintaan, pendidikan, agama dan lain
sebagainya.
Saat
ini, pengarang berlomba-lomba mengasah kreativitas dalam menciptakan sebuah
novel yang memiliki kualitas. Kualitas
sebuah novel sendiri salah satunya dapat dilihat atau diamati dari sisi unsur
intrinsik dan ekstrinsiknya. Unsur-unsur
intrinsik seperti tema, plot (alur), latar, sudut pandang pengarang, penokohan,
gaya bahasa dan amanat yang terkandung dalam sebuah novel dapat dijadikan tolak
ukur dalam menilai kualitasnya. Sedang
dari sisi unsur ekstrinsik dapat dilihat dari pengaruh-pengaruh luar dari
struktur novel sendiri seperti kebudayaan, agama, politik, dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan pengarang.
Dalam
karya tulis (makalah) ini, penulis akan mengulas unsur intrinsik dan ekstrinsik
dari sebuah novel yang berjudul Biola Tak
Berdawai. Alasan penulis mengambil judul ini untuk diulas adalah karena Biola Tak Berdawai dianggap memiliki
tema cerita yang tidak biasa dan berbeda dengan tema cerita yang dimiliki novel-novel kebanyakan. Biola Tak
Berdawai menyajikan sebuah cerita tentang anak-anak tunadaksa yang sekarang
ini sering kali luput dari berita. Ketertarikan
terhadap novel inilah yang akhirnya membuat penulis menjatuhkan pilihan untuk
menganalisis dan mengulasnya ke dalam sebuahkarya tulis dengan judul “Analisis
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel
Biola Tak Berdawai”.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain :
- Bagaimana unsur intrinsik (tema,
plot, latar, penokohan, sudut pandang pengarang, gaya bahasa dan amanat)
yang terkandung dalam novel Biola
Tak Berdawai?
- Bagaimana unsur ekstrinsik yang
terkandung dalam novel Biola Tak
Berdawai?
1.3
Batasan Masalah
Batasan
masalah dalam suatu kajian atau analisis sangatkah penting dalam menentukan
arah dan tujuan penulisan. Oleh karena
itu penulis membatasi analisis sampai pada unsur intrinsik dan ekstrinsik yang
ada pada novel Biola Tak Berdawai.
1.4 Tujuan
Berdasarkan
pemahaman di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan karya tulis
ini antara lain:
- Memperoleh pegetahuan lebih
mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah novel.
- Memperoleh pengetahuan dan
pengalaman mengenai bagaimana cara menganalisis unsur intrinsik dan
ekstrinsik sebuah novel.
- Dapat menemukan dan
menginterpretasi unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah novel.
- Dapat menilai kualitas sebuah novel dengan menggunakan teori struktural (intrinsik dan ekstrinsik).
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengantar
Prosa
sebagai salah satu genre sastra tentunya memiliki unsur-unsur pembangun. Secara umum, unsur-unsur penbangun itu
disebut sebagai unsur intrinsic dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun
karya sastra dari dalam atau menurut dirinya (karya sastra itu sendiri). Beda halnya dengan unsur ekstrinsik yang
membangun karya sastra dari luar karya itu. Menurut Wellek dan Warren (1990:
79), yang paling banyk dibahas dalam studi sastra adalah latar (setting), lingkungan (environment) dan
hal-hal yang bersifat eksternal.
Unsur
intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan begitu saja
karena keduanya saling mempengaruhi.
Unsur intrinsik terbentuk karena adanya pengaruh dari luar
(ekstrinsik). Pengaruh dari luar ini
berasal dari pengarang selaku (sutradara) cerita. Asal-usul dan lingkungan pengarang sangat
mempengaruhi karya sastra yang diciptakannya.
Unsur intrinsik sebuah karya sastra
terdiri atas tema, plot (alur), latar, penokohan, sudut pandang pengarang, gaya
bahasa dan amanat yang terkandung di
dalamnya. Unsur ekstriksik sebuah karya
sastra terdiri atas subjektivitas individu pengarang, psikologi pengaang dan
lingkungan pengarang.
2.2 Unsur Intrinsik
2.2.1
Tema
Pembaca karya fiksi
seperti novel tidak bertujuan semata-mata untuk menikmati keindahan ceritanya,
melainkan juga menghadapkan diri pada pertanyaan: apa sebenarnya makna yang
dikandung dan atau yang ingin di sampaikan oleh pengarang dalam cerita
tersebut? Membaca hal ini, (Hartoko & Rahmanto dalam Nurgiantoro, 2010: 68)
merangkum pertanyan itu ke dalam istilah tema.
Menurut mereka, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam sebuah teks sebagai struktur semantis
yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Tema
merupakan ide yang mendasari suatu cerita. Tema terbentuk dari sejumlah ide,
tendens, motif atau amanat yang sama, yang tidak bertentangan satu dengan yang
lainnya. Tema dinyatakan secara tidak terus terang, meskipun ada dan dirasakan
oleh pembaca. Tema tidak lain adalah ide
pokok, ide sentral atau ide yang dominan dalam karya sastra (Sugiarti, 2002:
37-38). Tema dibedakan menjadi tema utama
(mayor), yaitu makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum
karya itu dan tema tambahan (minor), yaitu makna tambahan yang hanya terdapat
pada bagian-bagian tertentu cerita.
2.2.2
Plot
Plot atau alur adalah
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai urutan
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian, plot merupakan
perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga menjadi kerangka utama
cerita. Menurut (Nurgiantoro, 2010: 113), banyak para ahli yang mendefinisikan
plot diantaranya adalah Stanton yang menyebut plot sebagai urutan cerita yang
berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan oleh peristiwa yang lain.
Plot merupakan kerangka
dasar yang amat penting. Plot mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus
berkaitan satu sama lain, bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan
peristiwa lain, serta bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa
itu.
Plot atau alur sendiri
menurut bentuknya terbagi menjadi alur maju, alur flashback dan alur campuran.
Alur maju yaitu alur yang mengalir biasa dari awal terbentuknya konflik
hingga penyelesaiannya. Alur flashback atau sorot balik adalah alur
yang saat cerita sedang berjalan dengan alur maju, kemudian cerita dikembalikan
ke masa lalu sebelum peristiwa yang diceritakan selesai. Misalnya cerita itu terlebih dahulu
menceritakan akibat, kamudian kembali ke penyebab. Terakhir, alur campuran adalah alur yang
ceritanya tidak runtut menurut kronologi kejadian alias bercampur-campur. Kadang pertengahan cerita yang diceritakan
terlebih dahulu, kemudian kembali ke masa lalu dan langsung meloncat ke masa
depan, atau dapat dimodifikasi sesuai selera pengarang.
2.2.2.1 Tahapan Plot
Plot dibagi menjadi
lima tahapan, antara lain:
1.
Tahap
penyituasian, yaitu tahap pelukisan atau pengenalan cerita mulai dari
tokoh-tokoh hingga situasi atau latar ceritanya. Tahapan ini dapat berisi paparan, gawatan dan
rangsangan dalam cerita.
2.
Tahap pemunculan
konflik (masalah), yaitu tahap dimana mulai muncul konflik dari
peristiwa-peristiwa yang ada pada tahap sebelumnya.
3.
Tahap
peningkatan konflik, yaitu tahap meningkatnya intensitas konflik atau konflik
yang terjadi semakin berkembang.
4.
Tahap klimaks,
yaitu dimana konflik yang terjadi sudah mencapai puncaknya.
5.
Tahap pemecahan
masalah,yaitu tahap terpecahkannya konflik atau pertentangan-pertentangan dalam
cerita menuju penyelesaian.
6.
Tahap peleraian,
yaitu masalah atau konflik sudah reda dan dapat diselesaikan.
2.2.2.2 Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Berdasarkan kriteria
urutan waktu, plot dibedakan menjadi plot progresif dan plot regresif. Plot progresif adalah jika
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis atau berurutan dari
awal hingga akhir peristiwa. Plot regresif adalah jika urutan
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan tidak bersifat kronologis atau cerita dapat
dimulai dari konflik, kembali ke awal terjadi peristiwa dan akhir. Namun dapat pula dimodifikasi lagi sesuai
keinginan pengarang.
2.2.2.3 Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Berdasarkan
kriteria jumlah (banyaknya plot cerita yang terkandung dalam prosa fiksi), maka
plot dibedakan menjadi plot tunggal dan plot ganda. Plot tunggal hanya memiliki satu masalah atau
alur cerita dan memfokuskan “dominansi” masalah seorang tokoh tertentu,
sedangkan pada plot ganda menyuguhkan lebih dari satu alur cerita atau dapat
menceritakan masalah lebih dari satu tokoh.
2.2.2.4 Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Kriteria
kepadatan adalah padat atau tidaknya perkembangan suatu cerita pada sebuah
karya fiksi. Kriteria kepadatan pada plot dibedakan menadi plot padat (rapat)
dan plot longgar (renggang). Plot padat
menyajikan cerita secara cepat, peristiwa susul-menyusul secara cepat dan
hubungan antarperistiwa sangat erat (rapat).
Hubungan peristiwa-satu dengan peristiwa lainnya tidak bisa dipisahkan
satu sama lain karena dapat mengganggu jalannya cerita secara keseluruhan. Sedangkan pada plot longgar, pergantian
peristiwa demi peristiwa berlangsung lambat di samping hubungan antarperistiwa
tersebut pun tidak begitu erat, sehingga apabila ada peristiwa yang dihilangkan
kemungkinan tidak merusak jalannya cerita secara keseluruhan. Alur longgar juga memungkinkan adanya
degresi, yaitu penyimpangan cerita dari tema pokok untuk mengisi kelonggaran
alur dan memperindah serta memperkaya cerita.
2.2.3
Latar Cerita
Latar atau setting
dalam pemahaman sederhana merupakan tempat terjadinya peristiwa baik yang
berupa fisik, unsur tempat, waktu dan ruang ataupun peristiwa cerita (Sugiarti,
2002: 55). Latar disebut juga sebagai
landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam
Nurgiantoro, 2010: 216).
Latar
dibagi menjadi empat bagian, antara lain:
1.
Latar Tempat
Latar tempat adalah
menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi. Unsur yang dipergunakan mengkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
2.
Latar Waktu
Latar waktu adalah
latar waktu yang berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan”
tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya
atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
3.
Latar Suasana
Latar suasana adalah
latar yang menggambarkan suasana batin maupun lingkungan yang terjadi dalam
cerita. Latar suasana dapat berupa suasana sedih, gembira, kacau, bingung, dan
lain sebagainya.
4.
Latar Sosial
Latar sosial menyaran
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi mencakup masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap dan
lain-lain. Di samping itu, latar sosial
juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
2.2.4
Penokohan
Peristiwa dalam karya fiksi
seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh
atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang
mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin
suatu cerita disebut dengan tokoh.
Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut
dengan penokohan (Aminudin, 2010: 79).
2.2.4.1
Penokohan Berdasarkan Pentingnya Keterlibatan dalam Cerita
a.
Tokoh utama (main character), yaitu tokoh yang
diutamakan penceritaannya atau tokoh yang berperan penting dalam cerita.
b.
Tokoh tambahan (peripheral character), yaitu tokoh yang
tidak memiliki peranan penting dalam cerita yang fungsinya melayani,
melengkapi, mendukung tokoh utama dalam menjalankan tugasnya. Penceritaan mengenai dirinya relatif pendek
dan tidak mendominasi.
2.2.4.2 Penokohan Dilihat dari Fungsi Penampilan
Tokoh
a.
Tokoh
protagonis, yaitu tokoh yang dikagumi oleh pembaca karena menampilkan sesuatu
yang sesuai dengan pandangan pembaca.
Tokoh protagonis memberikan empati, simpati, dan melibatkan diri secara
emosional dengan pembaca.
b.
Tokoh antagonis,
yaitu tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik. Tokoh antagonis sering kali tidak disenangi oleh pembaca karena tidak
sesuai dengan apa yang diidamkan pembaca.
2.2.4.3 Penokohan Berdasarkan Perwatakannya
a.
Tokoh sederhana
(simple/flat), yaitu tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi.
b.
Tokoh bulat
(complex), yaitu tokoh yang memiliki karakter yang kompleks, antara nafsu,
kebutuhan dan kewajiban serta konflik
lainnya sehingga memiliki banyak konflik.
2.2.4.4 Penokohan Berdasarkan Perkembangan Watak
a.
Tokoh statis,
yaitu tokoh yang tidak berkembang. Tokoh
statis hanya memiliki satu watak tanpa mengalami perubahan. Apabila pengarang menggambarkannya sebagai
seorang tokoh putih, maka sampai akhir cerita ia masi tetap menjadi tokoh
putih.
b.
Tokoh
berkembang, yaitu tokoh yang mengalami perkembangan. Tokoh berkembang mengalami perubahan
watak. Apabila ia diciptakan oleh
pengarang sebagai tokoh putih, bisa saja di tengah atau akhir cerita ia berubah
menjadi tokoh hitam atau sebaliknya.
2.2.4.5 Penokohan
Berdasarkan Pencerminannya dengan Kehidupan Nyata
a.
Tokoh tipikal,
yaitu tokoh yang dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, atau tafsiran
pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata seperti profesi guru, pejuang
dan lain sebagainya.
b.
Tokoh netral,
yaitu tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang
hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.
2.2.4.6 Penokohan Berdasarkan Sifat Masing-masing
Tokoh
Di dalam sebuah karya
sastra khususnya prosa, tokoh-tokoh dalam cerita memiliki sifat-sifat yang
berbeda-beda untuk menjadi variasi.
Misalnya saja ada tokoh yang disebut memiliki sifat penyayang, pemarah,
pendiam, pemalu dan sebagainya maka dalam
hal ini dapat dibuktikan dengan tindakan tokoh, penilaian tokoh lain atau pun
dari percakapan antar tokoh.
Pendeskripsian mengenai sifat tokoh ini dapat dianalisis berdasarkan
masing-masing tokoh.
2.2.5
Sudut Pandang Pengarang
Sudut pandang atau point of view merupakan cara atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya
fiksi kepada pembacanya (Abrams dalam Nurgiantoro, 2010: 248). Sudut pandang pada hakikatnya merupakan
strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut
pandang dibagi menjadi tiga, yaitu sudut pandang orang pertama, sudut pandang
orang ketiga dan sudut pandang campuran.
2.2.5.1 Sudut Pandang Orang Pertama
Sudut pandang orang
pertama (first person point of view)
menggunakan ”aku”. Gaya ”aku”, narator
adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ”aku” tokoh yang
berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau
tindakan, yang diketahui,dilihat, didengar,dialami dan dirasakan, serta
sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat
melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh
si ”aku” tersebut. Sudut pandang orang pertama dibagi lagi menjadi:
a.
Orang pertama
pelaku utama, yaitu si ”aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku
yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik,
hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ”aku” menjadi fokus pusat
kesadaran atau pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ”aku”,
peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan
dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan
diceritakan. Dalam cerita yang demikian, si ”aku” menjadi tokoh utama (first person central).
b.
Orang pertama
pelaku sampingan atau tambahan, yaitu tokoh ”aku” muncul bukan sebagai tokoh
utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first
pesonal peripheral). Tokoh ”aku” hadir untuk membawakan cerita kepada
pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk
mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan
berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang
lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan
dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ”aku”tambahan
tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah. Si ”aku” hanya tampil sebagai
saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain.
Si ”aku” pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
2.2.5.2 Sudut Pandang Orang Ketiga
Sudut pandang orang
ketiga menggunakan gaya ”Dia”, narator adalah seorang yang berada di luar
cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata
gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap
atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal
ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau
siapa yang bertindak.
Sudut pandang ”dia” dapat dibedakan menjadi:
a.
“Dia” serba
tahu, yaitu cerita dikisahkan dari sudut ”dia”, namun pengarang, narator dapat
menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator
mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient).
Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja
dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia” yang
satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan
dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan,
dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
b.
“Dia” pengamat,
yaitu pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau
terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup
banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan
untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.
2.2.5.3 Sudut Pandang Campuran
Sudut pandang
campuran yaitu pengarang membaurkan antara pendapat pengarang dan
tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi komentar dan
tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh dan kejadian yang
diceritakan.
2.2.6 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah
teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra
yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi (pemilihan
kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang membentuk gaya
bahasa. Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap
pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan
gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal
yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala
sesuatu yang ada di sekitarnya.
Gaya bahasa dapat
menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris, simpatik,
menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang
tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain.
2.2.7
Amanat
Amanat adalah pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang terhadap pembaca melalui karyanya, yang
akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarang dalam keseluruhan cerita. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan
secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam
tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir,
dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan,
saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan
gagasan utama cerita.
2.3 Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisme karya sastra.
Secara lebih khusus dapat unsur ekstrinsik dikatakan sebagai unsur-unsur
yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra namun sendiri tidak ikut
menjadi bagian di dalamnya. Berbicara
mengenai unsur ekstrinsik, maka yang disorot adalah pengarang.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh
Wellek dan Warren dalam Nurgiarntoro (2010: 24) bahwa unsur ekstrinsik terdiri
atas beberapa unsur. Unsur-unsur yang
dimaksud antara lain keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki
sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi
karya yang ditulisnya. Dengan kata lain,
biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur
ekstrinsik selanjutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang
(yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun prinsip psikologi
dalam karya. Keadaan di lingkungan
pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan beepengaruh terhadap
karya sastra. Kemudian yang terakhirunsur ekstrinsik dapat pula berupa
pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni lain dan sebagainya.
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Metode Kualitatif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan, sedangkan kualitatif adalah
penilaian berdasarkan kualitas. Dalam
analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik ini, penulis menggunakan metode
kualitatif.
3.2 Data
Data merupakan informasi atau bahan yang
harus dicari dan dikumpulkan untuk menjawab permasalahan yang akan dikaji dalam
suatu penulisan karya ilmiah. Data dalam karya tulis ini adalah sebuah novel
berjudul Biola Tak Berdawai yang
merupakan karangan dari Seno Gumira Adjidarma.
3.3 Sumber Data
Sumber data merupakan aspek yang sangat
penting karena ketepatan memilih dan menentukan sumber data akan menentukan
validitas data atau informasi yang disajikan. Ada pun data yang menjadi sumber
dalam karya tulis ini berasal dari buku-buku dan artikel-artikel dari internet
yang relevan dengan pembahasan yaitu mengenai unsur intirnsik dan ekstrinsik
sebuah karya sastra berupa novel.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penulisan ini adalah dengan mengumpulkan bahan pustaka, membaca, memilah
data, mencatat, mengidentifikasi dan memantapkan kebenaran data untuk kemudian
digunakan sebagai bahan analisis.
Pengumpulan data dilakukan untuk menjaga kealamiahan data yang
diperoleh. Dalam karya tulis ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik
pustaka yaitu dengan mengumpulkan berbagai sumber pustaka seperti novel Biola Tak Berdawai, serta
pustaka-pustaka penunjang berupa teori-teori mengenai unsur intrinsik dan
ekstrinsik sebuah karya sastra khususnya prosa.
3.5 Teknik Analisis
Teknik analisis data adalah proses
mengatur urutan data dengan menggolongkannya ke dalam suatu pola, kategori dan
satuan uraian dasar. Teknik analisis data yang digunakan dalam karya tulis ini
antara lain dengan identifikasi, interpretasi, analisis dan pemberian
kesimpulan yang terkait dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel.
BAB IV
PEMBAHASAN
Unsur Intrinsik
4.1
Tema pada Novel Biola Tak Berdawai
Ada
dua tema yang dipadukan dalam novel Biola
Tak Berdawai, yaitu tema sosial dan percintaan. Dikatakan memiliki tema sosial karena
sebagian besar ceritanya mengandung nilai-nilai sosial yang entah itu
menyimpang maupun tidak. Lebih khususnya
nilai-nilai sosial itu mengenai banyaknya pembuangan bayi-bayi penderita tunadaksa
oleh orang tuanya dan kepedulian terhadap nasib anak-anak penyandang tunadaksa
itu. Berikut kutipan yang membuktikan adanya
pembuangan bayi-bayi penderita tunadaksa:
Begitulah, Tuhan mengabulkan permintaan manusia
untuk mempunyai keturunan, namun ketika mereka mendapat bayi tunadaksa,
bukannya kasihan malah membuangnya sekalian – betapa terkelabui mereka oleh
keindahan ragawi, yang tidak memberikan jaminan apakah akan berarti juga
keindahan rohani. Bayi yang paling cepat
dibuang adalah bayi yang kepalanya besar, karena ujudnya dianggap memalukan. Di
panti asuhan ini, nama-nama mereka begitu indah, seperti Cempaka, atau
Larasati, tapi nasib mereka begitu mengenaskan : dibuang oleh orangtuanya
sendiri.
Orangtua yang malu ketika tetangga atau keluarga
memandangnya dengan pendapat tersembunyi, dengan segera akan membuang bayi-bayi
semacam ini. Bayi seperti aku sering
dianggap sebagai kutukan, atau pembawa sial, setidaknya memalukan, yang begitu
patutnya untuk segera dienyahkan.
Bayi-bayi itu akan dirawat sampai mati di sini, dan itu tidak akan
terlalu lama, karena memang akan cepat mati : bagaikan pembenaran atas
kelahiran yang dianggap keliru.
(BTB: 8)
Pak
Kliwon, seorang tua yang biasa menjadi penjaga malam, kadang-kadang memergoki
mereka yang meletakkan bayi itu, tetapi ibuku sudah berpesan agar mereka tidak
usah diganggu.
“Kita
tidak usah menambah beban mereka yang pendek akal, jiwanya kerdil, dan tidak
bernyali menghadapi kenyataan. Kita
anggap saja bayi-bayi ini titipan Tuhan, sebelum mereka dipanggil kembali.”
Apakah para pembuang bayi itu orang-orang miskin
yang kurang pengetahuan? Sepanjang pengalaman Pak Kliwon, hanya sekali terjadi
ada bayi digeletakkan oleh seorang pejalan kaki yang datang mengendap-endap di
pagi buta. Selebihnya selalu diturunkan
dari mobil, yang tidak jarang mewah, dan banyak juga yang nomornya dengan
awalan B : mobil-mobil Jakarta. Bahkan
Pak Kliwon merasa pernah mengenali wajah salah seorang mereka, sebagai wajah
yang sering muncul di layar TV.
(BTB: 25)
Kutipan
tersebut di atas menceritakan begitu banyaknya bayi penderita tunadaksa yang
dibuang oleh orang tuanya yang kebanyakan berasal dari masyarakat sosial kalangan
atas. Dikatakan kalangan atas karena
sering kali pelaku pembuang bayi menggunakan mobil yang tak jarang merupakan
mobil mewah. Ini merupakan realita
sosial yang ada dalam pikiran pengarang, dimana ada sebagian msyarakat yang memiliki
anak penderita tunadaksa merasa bahwa hal ini sangat memalukan sehingga
berpikir untuk membuang bayi itu daripada memeliharanya.
Ada
pula kutipan mengenai kegiatan sosial yang dilakukan oleh tokoh Renjani yang
mendirikan Rumah Asuh Ibu Sejati seperti di bawah ini:
Aku akan menceritakan duka ibuku nanti, sekarang aku
hanya ingin menceritakan betapa peristiwa itu membuat ibuku memanfaatkan
rumahnya yang luas sebagai panti asuhan yang merawat bayi-bayi cacat, bayi-bayi
tunadaksa yang dibuang oleh orang tuanya sendiri.
(BTB: 11)
Bicara
mengenai tema percintaan, dalam novel ini juga dibumbui oleh adanya cinta dan
kasih sayang baik dari tokoh-tokoh yang peduli pada bayi-bayi tunadaksa maupun
kisah cinta antara tokoh Renjani dan Bhisma.
Berikut kutipan yang membuktikan adanya rasa cinta tokoh Renjani kepada
salah satu anak penderita tunadaksa bernama Dewa:
Saat
itu kutelan makanan yang disuapkan ibuku.
“Anak pintar,” kata ibuku, “makannya habis. Anak Ibu
memang pintar dan hanya anak-anak pintar seperti kamu Dewa, yang boleh tinggal
di sini.”
Tapi Mbak Wid, entah kenapa, seperti tersinggung
oleh perhaian ibuku yang dianggapnya berlebihan.
(BTB: 18)
Aku
ingin sekali melihat ibuku menari dengan mata kepala sendiri. Aku ingin sekali.
Suatu tenaga yang mahadahsyat entah dari mana membuat kepalaku terangkat –
hanya sepersekian detik, dan ibuku melihat!
Ibuku terhambur memelukku.
“Dewa, Dewa – Dewa suka Ibu menari ya?
Ah, Ibu sayang sekali sama kamu Dewa!”
(BTB: 83)
Membaca kutipan ini, dapat ditarik suatu
kesimpulan mengenai betapa cintanya Renjani pada Dewa. Dewa yang tunadaksa dengan segala kekurangan
membuatnya seperti mayat hidup. Ia tidak
bisa mendengar, bicara atau pun maraba/merasa.
Bahkan bergerak saja hampir tidak bisa.
Namun Renjani selalu memperlakukannya selayaknya anak-anak normal dan
sering kali terlihat berlebihan dalam memberikan kasih sayang.
Kisah
cinta antara Renjani dan Bhisma juga
mewarnai jalannya cerita pada novel ini.
Renjani yang berusia tiga puluh satu tahun atau delapan tahun lebih tua
daripada Bhisma merasa tidak pantas untuk mendapatkan cinta Bhisma. Ia terlalu minder bukan hanya karena usia,
melainkan juga karena masa lalunya yang pernah diperkosa oleh guru balletnya. Bhisma yang mencintai Renjani seperti sulit
mendapatkan balasan. Berikut kutipan
yang menceritakan kisah cinta antara Renjani dan Bhisma:
Ibuku dan Bhisma berpelukan. Aku mengerti betapa
mereka berdua merasa berhasil melakukan sesuatu. Jiwa hanya bisa didekati dengan jiwa. Hati hanya bisa didekati degan hati. Secerdas-cerdas otak, ia justru hanya
berfungsi dalam suatu jarak. Namun kini
jiwa dan hati mereka berdua menerjemahkan diri ke dalam tubuh yang tanpa
disadari telah menjadi begitu lengket.
Bhisma
memandang ibuku tanpa berkedip, tak sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi
dalam dirinya. Ia tak melepaskan
pelukannya. Nafasnya di pipi ibuku dan
ia memeluk dengan kencang.
“Renjani….”
Ibuku semula juga merasa terseret arus dan terbakar
dalam kehanyutan, namun segera teringat oleh ibuku sesuatu yang menyakitkan,
sperti sayap kupu-kupunya yang putih cemerlang berubah menjadi coklat bulukan
dan hancur lebur diterbangkan angin.
(BTB: 117-118)
4.2 Plot (Alur) dalam novel Biola Tak Berdawai
4.2.1
Tahapan Plot
4.2.1.1
Penyituasian
Cerita dimulai dari seorang
wanita berusia 31 tahun bernama Renjani yang pindah dari Jakarta ke Kotagede,
Jogjakarta. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang wanita yang membawa
seorang bayi kecil cacat bernama Mbak Wid.
Mbak Wid ingin membuang bayi itu karena disuruh oleh orang lain. Bayi cacat itu dianggap kutukan.
Pada suatu hari, dalam suatu perjalanan dengan
kereta api dari Jakarta ke Jogja, ibuku duduk di sebelah seorang perempuan yang
membawa bayi cacat. Ternyata perempuan
itu memang disuruh membuang bayi itu ke Jogja.
(BTB: 9-10)
Perbincangan terjadi
antara Renjani dan Mbak Wid. Kemudian
mereka berdua yang sebetulnya memiliki rasa peduli terhadap nasib anak-anak
cacat sepakat untuk mendirikan sebuah panti bagi anak-anak cacat dengan nama
Rumah Asuh Ibu Sejati. Mbak Wid yang
seorang dokter bersedia membantu merawat anak-anak cacat itu.
Banyak sekali bayi-bayi
yang menderita tunadaksa atau memiliki lebih dari satu cacat dibuang ke rumah
asuh ini. Mereka rata-rata adalah
bayi-bayi yang tidak diinginkan kehadirannya oleh orang tua mereka baik dengan
alasan malu memiliki anak cacat atau pun bayi-bayi itu merupakan anak yang
lahir dari hasil hubungan gelap.
Salah satu anak yang
tinggal di rumah asuh itu adalah Dewa, seorang anak cacat yang memiliki usia
paling panjang di antara anak-anak lain yang paling lama bisa bertahan sekitar
usia satu tahun. Dewa yang mencapai usia
delapan tahun menjadi anak yang paling disayangi oleh Renjani.
4.2.1.2
Tahap Pemunculan Konflik (masalah)
Setelah pengenalan
cerita, maka pada tahap pemunculan konflik digambarkan makin banyaknya
bayi-bayi yang dibuang oleh orang tuanya ke Rumah Asuh Ibu Sejati akirnya
meninggal. Kutipannya sebagai berikut:
Tadi
siang bayi Larasati dikuburkan. Ibuku membuka percakapan.
“Setelah
mengalami kematian berulang kali, saya pikir saya akan terbiasa. Ternyata sakit
juga ya Mbak Wid. Hati masih bisa sakit…”
Mbak Wid adalah dokter di Rumah Asuh Ibu
Sejati. Mereka berdua tentu sering harus
menjadi saksi kematian bayi-bayi tunadaksa itu.
(BTB: 15)
Bayi-bayi tunadaksa
yang dibuang itu pun tidak punya banyak waktu untuk menikmati hidup. Mereka kebanyakan mati karena komplikasi
cacatnya.
“Saya setiap hari menghadapi bayi yang mati. Orang lain barang kali sudah menjadi
gila. Hari ini ada bayi mati. Besok ada lagi bayi mati. Lusa ada lagi.
Hampir setiap hari.”
(BTB: 113)
Konflik lainnya yang
adalah dengan munculnya tokoh Bhisma.
Bhisma ternyata tertarik kepada Renjani. Begitu pula sebaliknya. Renjani pun ternyata tertarik kepada Bhisma
dan juga pada anak-anak tunadaksa yang dirawat olehnya. Berikut adalah kutipan saat pertama kali
Renjani dan Bhisma bertemu. Bhisma
nampak selalu memperhatikan Renjani.
Dari panggung, sambil memainkan biolanya, lelaki itu
tidak pernah melepaskan pandangannya dari ibuku – tampaknya ia memang tidak
perlu membaca partitur di depannya itu lagi.
(BTB: 103)
4.2.1.3
Tahap Peningkatan Konflik
Ketertarikan antara
Renjani dan Bhisma mulai memanaskan konflik yang ada dalam novel Biola Tak Berdawai. Bhisma yang usianya memang masih muda dengan
gairahnya mencintai Renjani, hampir seperti memaksa untuk memiliki
Renjani. Namun, Renjani sadar dengan
keadannya. Ia tidak ingin larut dalam
cinta Bhisma.
Ibuku dan Bhisma berpelukan. Aku mengerti betapa
mereka berdua merasa berhasil melakukan sesuatu. Jiwa hanya bisa didekati dengan jiwa. Hati hanya bisa didekati degan hati. Secerdas-cerdas otak, ia justru hanya
berfungsi dalam suatu jarak. Namun kini
jiwa dan hati mereka berdua menerjemahkan diri ke dalam tubuh yang tanpa
disadari telah menjadi begitu lengket.
Bhisma
memandang ibuku tanpa berkedip, tak sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi
dalam dirinya. Ia tak melepaskan
pelukannya. Nafasnya di pipi ibuku dan
ia memeluk dengan kencang.
“Renjani….”
Ibuku
semula juga merasa terseret arus dan terbakar dalam kehanyutan, namun segera
teringat oleh ibuku sesuatu yang menyakitkan, sperti sayap kupu-kupunya yang
putih cemerlang berubah menjadi coklat bulukan dan hancur lebur diterbangkan
angin.
“Bhisma!
Lepaskan!”
Anak muda itu seperti kerasukan, merangsek dan
merangsek, sampai ibuku berhasil mendorongya dengan kasar.
(BTB: 117-118)
Renjani yang sebenarnya
juga memiliki perasaan pada Bhisma tidak berani untuk masuk ke dalam kisah
percintaan. Hal ini dikarenakan ia masih
trauma pada laki-laki. Ia takut hal yang
sama terjadi seperti saat ia diperkosa dulu.
Selain itu, Renjani juga merasa terlalu tua untuk Bhisma.
“Mana mungkin Mbak, umur saya delapan tahun lebih
tua dari dia, dan saya merasa sudah sampai di masa depan saya. Di sini. Di
rumah ini. Bersama Dewa dan bayi-bayi
lainnya. Saya merasa sudah mapan. Tapi
memang sekarang ketakutan…”
…………………………………………………………………………….
“Saya hanya ingin berteman. Selebihnya saya merasa tidak pantas.”
……………………………………………………………………………..
Setiap orang tentu, mempunyai kata hati – tapi tidak
setiap orang bisa jujur kepada dirinya sendiri.
Ibuku masih selalu mengira perasaan sesaat akan lenyap suatu saat.
“Saya…
saya…” tapi ibuku segera mengalihkan pikiran, “yang saya suka dari dia, sejak
awal dia tidak pernah menganggap Dewa sebagai anak yang punya kelainan. Sejak awal berkenalan dengan Dewa, Dewa
diajak omong. Diajak ngobrol. Persis seperti saya”
Namun
Mbak Wid tetap men gejar.
“Hatimu
bilang apa? Renjani, dia laki-laki baik.
Bukan jenis yang cuma jongkok di pertigaan. Jangan biarkan masa lalumu menghalangi masa
depanmu.”
Mbak
Wid menyebut-nyebut masa lalu, membuat ibuku teringat masa lalu, yang begitu menyakitkan
bagai tusukan sembilu.
(BTB: 128-129)
4.2.1.4
Tahap Klimaks
Penolakan Renjani
terhadap Bhisma yang memaksa memeluknya membuat Bhisma merasa bersalah dan terguncang,
kemudian memutuskan untuk tidak menemui
Renjani dulu. Berikut kutipan yang
menceritakan hal ini:
Bhisma
tidak pernah datang lagi dan ibuku tampaknya berusaha tidak memikirkan anak
muda itu. Akan halnya Bhisma, kemudian
aku akan mendengar betapa ia berusaha menerjemahkan kegalauan perasaannya dalam
sebuah lagu. Namun membuat lagu itu
tidak segampang membuat martabak. Kelak
Bhisma akan bercerita betapa jiwanya terguncang-guncang semenjak peristiwa itu. Ia terjebak antara keinginan mengungkapkan perasaan
dan kesulitan menerjemahkan perasannya itu.
Banyak gagasan, tapi macet – bukankah itu sangat menjengkelkan? Sampai
tak berasa jari telunjuknya ketika ia sengaja membakarnya dengan korek
api. Jari telunjuk itu baru berasa
ketika memencet dawai biola dan kepedihan itu mengingatkan Bhisma pada
kepedihan hatinya.
Mungkinkah ibuku
sudi menerimanya lagi?
(BTB: 127)
Bhisma frustrasi dengan
keadannya. Ia tidak mampu berbuat
apa-apa ketika Renjani menolaknya. Pergulatan
batinnya semakin menjadi-jadi ketika ia gagal menerjemahkan perasaannya ke
dalam lagu seperti yang biasa ia lakukan.
Sampai akhirnya Bhisma memutuskan untuk menemui Renjani lagi dengan
keadaan yang urakan, tak sempat mengurusi diri karena terlalu frustrasi.
Pada
malam bulan purnama, Bhisma muncul di balik jendela ketika ibuku sedang
memandangi rembulan itu Aku juga berada di sana, kepala tertunduk, mata hanya
menatap lantai, tetatpi bisa mengawasi segalanya.
Bhisma seperti orang yang tidak pernah tidur
berhari-hari. Rambutnya kusut masai dan matanya yang biasa tajam tampak
sayu. Mereka saling memandang, berdiri
saja seperti itu – bumi bagaikan tak beredar.
(BTB: 131)
Bhisma berusaha
meyakinkan Renjani untuk menerima dirinya:
Anak
muda itu berlutut, dan meraih tangan ibuku.
“Aku
mohon, jangan singkirkan aku. Dewa sudah
mengisi batinku. Kamu sudah mengisi
hatiku. Tolong Renjani, jangan
singkirkan aku.”
Mata
ibuky berkaca-kaca. Dibelainya pipi
Bhisma. Tangan Bhisma meraih tangan yang
membelai itu dan dibelainya kembali.
“Aku masih bingung,” kata ibuku, “aku masih belum
bisa berdamai dengan masa laluku. Beri
aku waktu. Tapi kamu harus janji, kamu
akan menyelesaikan lagu ini.”
(BTB: 132)
Di sisi Renjani tak
kalah pula bermasalah. Ia mulai
merasakan kesakitan.
Ibuku tersentak bangun sembari menahan jeritan. Nafasnya tersengal-sengal. Terasa betapa perutnya amat sangat
sakitnya. Kemudian tangan yang semula
memegangi perut, kini berpindah memegangi kepala, karena kelak aku akan tahu –
seribu godam bagai memukuli kepalanya.
Di dalam hatinya ibuku menjerit, meski dari mulutnya tiada suara sama
sekali.
(BTB:
130)
Di kepala Mbak Wid terlihat ibuku dan aku siap pergi
ke Prambanan menghadiri recital Bhisma.
Ibuku sedang mendandani aku ketika rasa sakit yang luar biasa
menyayat-nyayat dan menusuk-nusuk perutnya.
“Malam itu dia ambruk…”
Dilihatnya tangan ibuku memegangi kepalanya yang
juga terasa sakit sekali, seperti didera sejuta godam.
(BTB:
158)
4.2.1.5
Tahap Pemecahan Masalah
Masalah yang memuncak
akhirnya menemui pemecahannya. Kesakitan
yang dialami Renjani ternyata bukan hanya sakit biasa, melainkan sakit yang diakibatkan
oleh kanker. Kanker yang didapat Renjani
merupakan akibat dari aborsi yang pernah dilakukannya dulu. Hingga pada akhirnya kesakitan itu membawa
Renjani kepada pintu kematian.
“Kata
mereka kankernya sudah tumbuh terus..”
Dan
menjadi sangat waras.
“Kankernya
itu akibat dulu pernah melakukan aborsi. Huh, aborsi yang ceroboh…”
Bhisma
terpaku seperti patung. Mbak Wid sudah
kembali.
“Dia dibawa ke rumah sakit. Satu minggu dia koma. Dia meninggal”
(BTB: 159)
4.2.1.6
Tahap Penyelesaian
Kisah cinta antara
Renjani dan Bhisma rupanya tidak berakhir dengan penyatuan. Meninggalnya Renjani meninggalkan kenangan
dan duka yang amat dalam bagi Dewa. Ia
yang diperkirakan tidak memiliki usia yang panjang ternyata malah ditinggalkan
terlebih dahulu oleh Renjani.
Kepergian ibuku meninggalkan kekosongan yang
besar. Suatu kehampaan yang membuatku
mempunyai perasaan terjatuh ke dalam sumur tanpa dasar. Dunia gelap dan asing dan aku melayang
bagaikan tersedot oleh sesuatu tanpa bisa melawan meski aku memang tidak ingin melawan
dan tidak pernah ingin melawan.
Kubiarkan diriku tersedot kemana pun asal membawaku sampai kepada
ibuku. Tapi ternyata aku masih di
ranjangku. Setiap kali membuka mata yang
kulihat kelambu meski sungguh mati aku
tidak melihatnya tidak melihatnya tidak melihatnya. Apakah yang bisa dilihat, didengar dan
diceritakan kembali oleh seorang anak tunadaksa? Kini tak seorang pun, tak seorang pun akan
berkata, ”Dewa, Ibu sayang sekali sama Dewa,” – tidak pernah lagi, tak akan
pernah.
(BTB: 173-174)
Sementara itu, Bhisma
tak kalah merasa kehilangan atas meninggalnya Renjani. Terlebih ia belum sempat menepati janjinya
untuk memainkan biola dengan lagu ciptaannya tentang anak-anak tunadaksa di
hadapan Renjani. Oleh karena itu dalam
kesedihannya ia mengajak Dewa ke makam Renjani dan memainkan biola di atasnya. Cerita pun berakhir sampai di sini.
Bhisma, dengan usianya yang masih sangat muda, jatuh
cinta kepada ibuku yang jauh lebih tua.
Cintanya tidak pernah sempat berkembang, bahkan putus mendadak di tengah
jalan, namun selalu ada suatu cara untuk menggapaikan cinta ke tempat
tujuannya, karena hanya dalam cinta manusia bisa mengandaikan dirinya
bermakna. Maka atas nama cinta, di
kuburan ini ia memainkan lagunya, seperti yang selalu diinginkannya, menggesek
dawai jiwa dalam diri biola-biola tak berdawai.
(BTB: 189)
4.2.2
Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Berdasarkan
urutan waktu, alur pada novel Biola Tak
Berdawai termasuk ke dalam plot regresif, karena urutan peristiwa-peristiwa
yang dikisahkan tidak bersifat kronologis. Dalam novel ini, cerita yang terjadi
lebih dahulu diceritakan belakangan.
Misalnya peristiwa perkosaan yang dialami Renjani baru diceritakan di
tengah-tengah setelah menceritakan kehidupan Renjani di Rumah Asuh Ibu Sejati. Padahal peristiwa perkosaan ini lebih dahulu
terjadi dibanding dengan peristiwa yang menceritakan kehidupan Renjani di Rumah
Asuh Ibu Sejati.
4.2.3
Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Berdasarkan
kriteria jumlah, novel Biola Tak Berdawai
memakai plot ganda menyuguhkan lebih dari satu alur cerita atau dapat
menceritakan masalah lebih dari satu tokoh.
Dalam novel ini, masalah yang diceritakan bukan hanya berasa dari satu
tokoh saja, melainkan ada berbagai masalah dari tokoh-tokoh yang berbeda. Tokoh Renjani misalnya, ia diceritakan
memiliki masalah dengan traumanya pada masa lalu yang mengalami perkosaan. Selain itu ada pula masalah tokoh Dewa yang
memiliki keterbatasan fisik. Lain halnya
dengan Bhisma yang memiliki masalah mengenai perasaannya yang jatuh cinta pada
Renjani. Begitu pula dengan Mbak Wid
yang masalahnya ada pada kejenuhannya
menghadapi bayi-bayi yang mati sehingga ia menenangkan pikiran dengan bermain
kartu tarot.
4.2.4
Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Berdasarkan
kriteria kepadatannya, plot dalam novel Biola
Tak Berdawai ini dapat dikatakan sebagai plot longgar. Hubungan
antarperistiwanya tidak begitu erat, sehingga apabila ada peristiwa yang
dihilangkan kemungkinan tidak merusak jalannya cerita secara keseluruhan. Salah satu peristiwa yang dapat dihilangkan
dalam novel ini adalah peristiwa dimana
Renjani menceritakan kisah antara Lara Jonggrang dan Bandung Bandawasa yang
dirangkum dalam satu bab penuh (bab 13).
Jika peristiwa ini dihilangkan, maka tidak akan merusak jalannya cerita
secara keseluruhan.
4.3 Latar Cerita pada Novel Biola Tak Berdawai
4.3.1
Latar Tempat
Secara
keseluruhan, tempat yang melatari cerita dalam novel Biola Tak Berdawai
mengambil lokasi di Kotagede, Yogyakarta.
Berikut beberapa kutipan yang menjelaskan latar tempat:
·
Panti
Panti asuhan tempat anak-anak tunadaksa dirawat
bernamaRumah Asuh Ibu Sejati. Terletak
di daerah para pengrajin perak bernama Kotagede di pinggiran kota Yogyakarta
yang biasa diucapkan sebagai Jogja.
(BTB: 9)
·
Hamparan sawah
Ibuku menuntunku di tengah hamparan sawah yang
menguning. Dalam hembusan angin,
batang-batang padi itu bagaikan sedang bersembahyang dan setiap kali tegak
memuji kebesaran Tuhan.
(BTB: 37)
·
Pantai
Hari itu, ibuku dan aku beradadi tepi pantai yang
terletak di sebelah selatan Yogyakarta – sebatas itulah semesta simbolik orang
Jogja, antara Laut Selatan dan Gunung Merapi di utara, di luar itu tiada lagi
dunia.
(BTB: 45)
Ibuku berjalan di tepi pantai Krakal. Setiap kalilaut surut, tampaklah pemandangan
ganggang hijau yang tersebar di tepian pantai.
Ibuku berjalan sendirian saja di pantai itu, melangkah dalam angin,
memperhatikan lidah-lidah ombak setiap kali pasang dan setiap kali surut
kembali.
(BTB: 143)
·
Candi Prambanan
Ballet Ramayana dimainkan setiap bulan purnama di
Candi Prambanan. Bulan yang sama juga
menyinari candi itu ketika selesai dibangun seribu dua ratus tahun yang
lalu. Ketika ibuku membawaku masuk ke
taman wisata Candi Prambanan, ibuku bercerita tanpa peduli aku mendengar atau
tidak, ia bercerita dan terus bercerita dengan asyiknya.
(BTB: 95)
·
Makam
Bhisma menenteng biola, sebelah tangannya
menggandengku. Kami berhenti di bawah
sebuah pohon yan teduh – di situlah makam ibuku, di antara makam bayi-bayi
tunadaksa, masih merah tanahnya, meski rumput mulai tumbuh.
(BTB: 185)
4.3.2
Latar Waktu
Latar
waktu dalam novel Biola Tak Berdawai
tidak begitu dijelaskan secara rinci mengambil seting pada tahun berapa. Dalam novel ini latar waktu yang disebutkan
hanya berkisar apakah adegan-adegannya dilakukan pada saat pagi, siang atau
malam, dan adegan latar waktu yang disebutkan sering kali malam. Contoh kutipan yang memuat latar waktu malam
hari antara lain sebagai berikut:
Malam itu Mbak Wid kembali kepada peranannya sebagai
peramal. Kali ini dengan tamu baru bernama
Bhisma, anak muda pemain biola yang tersedot keluar dari balik kedap suara
karena ibuku.
(BTB: 112)
Pada Malam bulan purnama, Bhisma muncul di balik
jendela ketika ibuku sedang memandangi rembulan itu. Aku juga berada di sana, kepala tertunduk
mata hanya menatap lantai, tetapi bisa mengawasi segalanya.
(BTB: 131)
4.3.3
Latar Suasana
Ada beberapa latar
suasana yang terdapat dalam novel Biola
Tak Berdawai, diantaranya adalah suasana tegang, bahagia, sedih, dan
kacau. Suasana tegang terjadi pada saat
Mbak Wid tersinggung dengan perkataan sikap Renjani yang terlalu memberikan
perhatian berlebih pada Dewa seperti yang terdapat pada kutipan berikut:
Tapi Mbak Wid, entah kenapa seperti
tersinggung oleh perhatian ibuku yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi.
“Anak-anak yang
dibuang orangtuanya. Anak-anak yang
bikin malu keluarganya. Anak-anak yang umurnya tidak lama!”
Ibuku
mengimbangi dengan perlahan.
“Ssstt.. Mabak
Wid… ada Dewa…”
Maka Mbak Wid
pun bicara tentang diriku.
“Duuuhhh, Renjaniiii,
Renjani… Saya tahu kamu sangat sayang
kepada Dewa, tapi anak itu tidak mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa. Dia bukan saja jaringan otaknya rusak, tapi juga
autistik. Matanya terbuka tapi tidak
melihat. Telinganya tidak mendengar. Kamu sendiri kan sudah melihat hasil
test-nya.”
(BTB: 18)
Berikut
kutipan yang menggambarkan suasana bahagia ketika Renjani melihat Dewa bisa
mengangkat kepalanya:
Aku
ingin sekali melihat ibuku menari dengan mata kepala sendiri. Aku ingin sekali.
Suatu tenaga yang mahadahsyat entah dari mana membuat kepalaku terangkat –
hanya sepersekian detik, dan ibuku melihat!
Ibuku terhambur memelukku.
“Dewa, Dewa – Dewa suka Ibu menari ya? Ah, Ibu
sayang sekali sama kamu Dewa!”
(BTB: 83)
Suasana kacau
juga disajikan dalam novel ini saat Renjani mengalami kesakitan yang amat
sangat. Saat itu Dewa yang berada dekat
dengannya sangat ingin menolong Renjani, namun keterbatasan fisiknya membuatnya
tidak dapat berbuat apa-apa sehingga perasaan Dewa begitu kacau seperti kutipan
:
“Di
tempat tidurnya ibuku meronta ke kiri dan ke kanan. Seluruh tubuhnya berkeringat dan benaknya
sungguh penuh dengan mimpi-mimpi buruk.
Aku ingin menggapainya. Ingin
masuk ke alam mimpi dan mengusir mimpi-mimpi buruknya. Aku menggapai tapi tak kunjung mencapai. Aku
ingin melompat dari stoples kaca ini namun ternyata aku terjatuh bersama stoples
itu, melayang dan melayang dalam semesta jiwa yang sunyi.”
(BTB: 130)
Ada pula suasana sedih seperti yang ada
dalam kutipan :
Ibuku
mengangkat wajahnya. Cerita Mbak Wid
memang menyedihkan, namun memberi keberanian bagi ibuku untuk bercerita tentang
dirinya, karena ia merasa penderitaannya lebih berat.
“Saya terpaksa…”
Air matanya
tumpah.
“Saya dipaksa…”
Mbak Wid
ternganga, menyadari betapa beratnya beban derita ibuku.
“Renjani…”
Tangis ibuku
menjadi.
(BTB: 77)
4.3.4
Latar Sosial
Latar sosial yang ada
dalam novel Biola Tak Berdawai ini
mencerminkan perilaku hidup yang menjunjung tinggi nilai sosial. Di tengah banyaknya pembuangan bayi, masih
ada saja orang yang dengan rela hati menampung bayi-bayi malang itu untuk
dirawat.
4.4
Penokohan dalam Novel Biola Tak Berdawai
4.4.1
Penokohan Berdasarkan Pentingnya Keterlibatan dalam Cerita
Tokoh utama
dalam novel Biola Tak Berdawai ada
tiga, yaitu Dewa, Renjani dan Bhisma.
Dikatakan sebagai tokoh utama karena ketiga tokoh ini menjadi sentral
cerita dan diutamakan penceritaan tentang diri.
Dewa misalnya, sebagai tokoh ia memiliki banyak porsi penceritaan
tentang dirinya yang tidak lain menjadi sudut padang pengarang (serba
tahu). Ia diceritakan sebagai anak
penderita tunadaksa yang berhasil hidup lebih lama dibandingkan anak-anak
tunadaksa lainnya. Tokoh Dewa juga
selalu ada dalam penceritaan mulai dari bab pertama hingga terakhir.
Kisah cinta antara
Renjani dan Bhisma membuat mereka juga dikatakan sebagai tokoh utama yang juga
memiliki banyak porsi penceritaan.
Terlebih kisah cinta antara keduanya terkait pula dengan keberadaan
tokoh Dewa.
Pemeran tambahan
pada novel Biola Tak Berdawai adalah
Mbak Wid. Penceritaan mengenai tokoh
Mbak Wid tidak begitu banyak dan hanya melengkapi cerita. Meskipun ada pula bagian novel yang khusus
menceritakan tentang Mbak Wid, namun penceritaannya relatif pendek dan tidak
mendominasi cerita layaknya tokoh Dewa, Renjani dan Bhisma.
4.4.2 Penokohan
Dilihat dari Fungsi Penampilan Tokoh
Dilihat dari
fungsi penampilan tokoh, penokohan terdiri atas tokoh protagonis dan antagonis.
Dalam novel Biola Tak Berdawai,
yang menduduki posisi sebagai tokoh protagonis adalah Dewa, Bhisma dan Mbak
Wid. Ini dikarenakan ketiga tokoh ini
memenuhi kriteria sebagai tokoh protagonist seperti memberikan simpati dan
empati pada pembaca dan melibatkan diri secara emosional. Tokoh-tokoh ini pun dapat dikatakan memiliki
sifat yang dikagumi dan menampilkan hal-hal yang sesuai dengan pandangan
pembaca.
Ada pula tokoh
yang menduduki posisi sebagai tokoh antagonis yaitu Renjani. Tokoh antagonis tidak selalu jahat. Namun, tokoh antagonis adalah tokoh yang
menyebabkan terjadinya konflik. Di dalam
novel Biola Tak Berdawai, tokoh
Renjani lah yagmenimbulkan konflik seperti penolakannya terhadap Bhisma.
4.4.3 Penokohan
Berdasarkan Perwatakannya
Berdasarkan
perwatakannya, penokohan terbagi atas tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana dalam novel Biola Tak Berdawai adalah Dewa dan
Bhisma. Alasannya adalah tokoh Dewa
hanya memiliki satu kualitas pribadi yaitu sebagai anak tunadaksa yang panca
inderanya lumpuh tapi bisa merasakan segalanya. Dewa pun juga tidak memiliki banyak masalah. Begitu pula dengan Bhisma yang hanya memiliki
satu kualitas pribadi. Ia tampil sebagai
tokoh seorang pemuda yang pandai memainkan biola dan dalam usianya yang muda,
ia jatuh cinta pada seorang wanita yang terpaut usia delapan tahun lebih tua
darinya.
Tokoh bulat dala novel Biola Tak Berdawai adalah Renjani dan
Mbak Wid. Tokoh Renjani disebut sebagai tokoh bulat karena ia memiiki karakter
yang kompleks sehingga memiliki banyak (lebih dari satu masalah). Selain bermasalah dengan masa lalunya,
Renjani dihadapkan pada masalah percintaannya dengan Bhisma dan penyakit
kankernya. Selain itu, tokoh Mbak Wid
juga dikatakan sebagai tokoh bulat karena karakternya pun kompleks. Mbak Wid bukan hanya sebagai dokter yang
dengan lembut dan rela hari merawat anak-anak tunadaksa, ia juga merupakan
sosok paranormal yang selalu bergelut dengan kartu-kartu tarotnya setiap malam.
4.4.4 Penokohan
Berdasarkan Perkembangan Watak
Berdasarkan
perkembangan watak, penokohan dibagi menjadi tokoh statis dan tokoh
dinamis. Tokoh statis dalam novel Biola
Tak Berdawai adalah Dewa, Bhisma dan Mbak Wid, karena dari awal hingga akhir novel
watak mereka cenderung tetap dan tidak mengalami perubahan. Tokoh dinamis ada adalah Renjani yang
mengalami perkembangan watak dari yang semula tidak ingin mengenang masa
lalunya sebagai seorang penari ballet, akhirnya karena ingin membahagiakan
Dewa, ia mau menari lagi. Selain itu, wataknya
berkembang dari yang awalnya mencintai Bhisma, namun dengan berbagai alasan ia
menjauhi Bhisma dan pada akhirnya ia ingin juga bersama Bhisma meski ternyata
hal itu tidak tercapai karena ia meninggal dunia.
4.4.5 Penokohan
Berdasarkan Pencerminannya dengan Kehidupan Nyata
Ada
tokoh tipikal dan tokoh netral dalam penokohan berdasarkan pencerminannya
dengan kahidupan nyata. Namun dalam
novel Biola Tak Berdawai, hanya ada
tokoh tipikal saja karena tokoh-tokohnya dipandang sebagai reaksi, tanggapan ,
penerimaan atau tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata. Misalnya saja Dewa sebagai anak tunadaksa. Anak tunadaksa memang riil ada di dunia
nyata. Begitu pula dengan tokoh lainnya.
4.4.6 Penokohan
Berdasarkan Sifat dan Karakter Masing-masing Tokoh
a.
Dewa
Dewa merupakan tokoh yang digambarkan
sebagai anak penderita tunadaksa dengan segala kekurangan atau komplikasi cacat
tubuh. Ia buta, tuli, bisu, lumpuh,
autis dan tampilan fisiknya tidak normal.
Namun dengan segala kekurangannya ini, Dewa dapat merasakan atau
memikirkan lingkungannya meski ia tidak dapat berbuat apa-apa dengan itu. Lebih jelasnya berikut kutipan yang
mendeskripsikan sifat dan karakter tokoh Dewa:
Namaku Dewa, umurku menjelang delapan tahun, dan aku
tidak pernah tumbuh seperti anak-anak lainnya. Aku disebut sebagai anak
tunadaksa, yakni memiliki lebih dari satu cacat, dan salah satunya adalah
tunawicara. Menurut pemeriksaan, aku
dilahirnkan dengan kelainan sistem peredaran darah, yang membuat tubuhku tidak
berkembang. Aku juga disebut memiliki
kecenderungan autuistik, mataku terbuka tapi tidak melihat, telingaku bisa
menangkap bunyi tapi tidak mendengar, tentu karena jaringan otakku yang
ternyata rusak. Leherku selalu miring,
kepalaku selalu tertunduk – ya, pandanganku selalu terarah ke bawah. Aku seperti bayi tua, tubuhku keci tetapi
wajah lebih berusia : anak-anak kecil suka memanggilku anak tuyul atau anak
gendruwo, semuanya setan-setan gentayangan yang hanya mereka kira-kira saja
bentuk rupanya.
(BTB: 9)
b.
Renjani
Renjani
digambarkan sebagai tokoh seorang wanita berusia 31 tahun yang peduli terhadap
nasib anak-anak tunadaksa yang dibuang oleh orang tuanya. Ia mendirikan sebuah panti bernama Rumah Asuh
Ibu Sejati yang menampung dan merawat anak-anak tunadaksa. Di antara anak-anak tunadaksa yang diasuhnya,
Renjani sangat menyayangi Dewa. Ia
menganggap Dewa seperti anaknya sendiri dan selalu diperlakukannya selayaknya
anak normal.
Saat itu kutelan
makanan yang disuapkan ibuku.
“Anak pintar,”
kata ibuku, “makanannya habis. Anak Ibu
memang pintar, dan hanya anak-anak pintar seperti kamu Dewa, yang boleh tinggal
di sini.”
Tapi Mbak Wid,
entah kenapa seperti tersinggung oleh perhatian ibuku yang dianggapnya
berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba
meninggi.
“Anak-anak yang
dibuang orangtuanya. Anak-anak yang
bikin malu keluarganya. Anak-anak yang umurnya tidak lama!”
Ibuku
mengimbangi dengan perlahan.
“Ssstt.. Mabak
Wid… ada Dewa…”
Maka Mbak Wid
pun bicara tentang diriku.
“Duuuhhh,
Renjaniiii, Renjani… Saya tahu kamu
sangat sayang kepada Dewa, tapi anak itu tidak mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa. Dia bukan saja jaringan otaknya rusak, tapi
juga autistik. Matanya terbuka tapi
tidak melihat. Telinganya tidak
mendengar. Kamu sendiri kan sudah
melihat hasil test-nya.”
(BTB: 18)
Renjani pernah
mengalami hal yang membuatnya trauma pada laki-laki, yaitu perkosaan.
Ia pernah diperkosa oleh guru balletnya dulu. Hal ini membuatnya takut untuk jatuh cinta
pada laki-laki dan lebih memilih mengabdikan hidupnya untuk merawat anak-anak
tunadaksa dengan mendirikan Rumah Asuh Ibu Sejati. Trauma ini juga membuatnya membatasi diri untuk
tidak jatuh cinta pada laki-laki termasuk Bhisma. Padahal dalam hatinya, Renjani mencintai
Bhisma. Akan tetapi, ia tidak berani untuk menerima cinta Bhisma dengan alasan
trauma dan perbedaan usia yang cukup jauh antara dirinya dengan Bhisma.
Aku
baru akan mengetahui pergulatan Bhisma itu kelak, tetapi ibuku sekarangpun
ternyata juga memikirkan Bhisma. Di
ruang lilin, ibuku menjawab pertanyaan Mbak Wid apakah Bhisma akan menjadi
jodohnya.
“Mana
mungkin Mbak, umur saya delapan tahun lebih tua dari dia, dan saya sudah merasa
sampai di masa depan saya. Di sini. Di rumah ini.
Bersama Dewan dan bayi-bayi lainnya.
Saya merasa sudah mapan. Tapi
memang sekarang ketakutan…”
………………………………………….
“Saya…
saya…” tapi ibuku segera mengalihkan pikiran, “yang saya suka dari dia, sejak
awal dia tidak pernah menganggap Dewa sebagai anak yang punya kelainan. “Saya… saya…”
tapi ibuku segera mengalihkan pikiran, “yang saya suka dari dia, sejak awal dia
tidak pernah menganggap Dewa sebagai anak yang punya kelainan. Sejak awal berkenalan dengan Dewa, Dewa
diajak omong. Diajak ngobrol. Persis seperti saya”
Namun
Mbak Wid tetap mengejar.
“Hatimu
bilang apa? Renjani, dia laki-laki baik.
Bukan jenis yang cuma jongkok di pertigaan. Jangan biarkan masa lalumu menghalangi masa
depanmu.”
Mbak Wid menyebut-nyebut masa lalu, membuat ibuku
teringat masa lalu, yang begitu menyakitkan bagai tusukan sembilu.
(BTB: 128-129)
c.
Bhisma
Bhisma
digambarkan sebagai sosok pemuda berusia 23 tahun, seorang mahasiswa jurusan
musik yang pandai memainkan biola. Bhisma
ternyata juga peduli terhadap anak-anak tunadaksa. Bhisma melihat Bhisma dan
bayi-bayi cacat lainnya sebagai ciptaan Tuhan yang indah tapi tidak diberkati
dengan kehidupan yang berguna. Kemudian
ia menciptakan lagu berjudul Biola
Tak Berdawai untuk anak-anak tunadaksa itu.
Semenjak pertemuannya dengan Renjani di acara resital musik, ia mulai
jatuh cinta pada Renjani. Namun cintanya
tidak bisa dibalas oleh Renjani sehingga Bhisma memohon-mohon. Berikut beberapa kutipan yang menggambarkan
sosok Bhisma:
Wajahnya tampan dengan garis-garis muka yan terpahat
dengan jelas seperti turun dari relief seorang ksatria di dinding candi. Matanya dalam sorotannya tajam. Sepintas lalu
ia tampak span dan manis – tapi jika permainan biolanya boleh dianggap sebagai
pernyataan jiwa, terdengar sesuatu yang tidak terlalu manis, bahkan terbayang
adanya suatu dunia yang liar di mana berbagai anasir masih bertarung untuk
menguasai jiwanya.
(BTB: 103)
“Berapa
umurmu?” Mbak Wid bertanya kepada Bhisma.
“Tahun ini saya dua puluh tiga.”
(BTB: 113)
Bhisma, dengan usianya yang masih sangat muda, jatuh
cinta kepada ibuku yang jauh lebih tua.
Cintanya tidak pernah sempat berkembang, bahkan putus mendadak di tengah
jalan, namun selalu ada suatu cara untuk menggapaikan cinta ke tempat
tujuannya, karena hanya dalam cinta manusia bisa mengandaikan dirinya bermakna.
(BTB: 189)
d.
Mbak Wid
Mbak Wid adalah
seorang wanita separuh yang berprofesi
sebagai dokter dan mengabdikan dirinya untuk merawat anak-anak tunadaksa di Rumah
Asuh Ibu Sejati. Ia memiliki masa lalu
yang suram. Mbak Wid terlahir dari
seorang ibu yang berprofesi sebagai pelacur.
Ibunya berkali-kali menggugurkan kandungannya dan hanya Mbak Wid seorang
lah yang berhasil lahir. Masa lalunya
inilah yang membuatnya prihatin akan keadaan anak-anak yang dibuang. Selain sebagai dokter, Mbak Wid yang memiliki
indera keenam ini juga sering kali meramal dengan menggunakan kartu tarot.
“Aku hidup dengan usaha keras melupakan masa laluku
dan betapa berat usaha melupakan itu bagiku.
Sebagai mahasiswa kedokteran, di bagian anak pula, begitu sering aku
berurusan dengan nasib bayi-bayi malang.
Semua itu hanya membawaku kembali ke masa laluku. Bayi-bayi dan ibu hamil hanya mengingatkan
kepada penguguran.”
(BTB: 67)
Apabila malam tiba, Mbak Wid bagaikan memasuki suatu
upacara. Mbak Wid memang menikmati
permainan kartu tarot bagaikan menghayati suatu upacara, karena baginya misteri
masa depan merupakan daya tarik yang luar biasa. Maka, ketika permadani malam
terbentang di langit, seusai makan Mbak Wid akan duduk di sana, di meja marmer,
menggelar kartu-kartu tarot, mengenakan busana serba hitam dengan rambut
terurai, meramalkan masa depan seseorang.
Dalam cahaya kekuningan yang berat dan menekan, tindak meramal menjadi
sesuatu yang mendebarkan.
(BTB: 85)
4.5 Sudut Pandang Pengarang dalam Novel Biola Tak
Berdawai
Pengarang
dalam novel Biola Tak Berdawai
mengambil sudut pandang orang pertama pelaku sampingan dalam menyajikan cerita
karena menggunakan subjek “aku”. Dalam
hal ini tokoh yang berlaku sebagai orang pertama pelaku sampingan “aku” adalah
Dewa. Dewa hadir untuk membawakan cerita
kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan”
berkisah sendiri yag kemudian menjadi tokoh yang ceritanya diutamakan, yaitu
Renjani dan Bhisma. Ini dikarenakan
merekalah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan,
dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, sedangkan Dewa lebih banyak bertindak
sebagai pencerita daripada menceritakan dirinya sendiri.
Dewa
memang salah satu tokoh utama cerita, namun isi cerita lebih banyak
mengemukakan mengenai kisah Renjani dan Bhisma maupun kehidupan bayi-bayi atau
anak-anak tunadaksa. Setelah cerita mengenai tokoh yang diutamakan selesai, maka
orang pertama sampingan (Dewa) muncul kembali namun hanya tampil sebagai saksi
saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si
”aku” pada tampil sebagai pengantar dan penutup cerita. Namun, tidak menutup kemungkinan turut serta
dalam berlangsungnya cerita tentang tokoh yang diutamakan.
4.6 Gaya Bahasa dalam Novel Biola Tak Berdawai
Setiap pengarang memiliki ciri khas
masing-masing dalam menggunakan gaya bahasa pada sebuah karya sastra seperti
prosa. Dalam hal ini, Seno Gumira Adjidarma
menggunakan gaya bahasa yang bersifat menarik simpatik pembaca pada cerita
dalam novelnya Biola Tak Berdawai. Seno
dengan piawai menggunakan diksi-diksi yang sederhana dan juga puitis. Di awal
bab pertama saja, Seno sudah menarik perhatain pembaca dengan keindahan olahan
kata-katanya seperti kutipan berikut:
Tanpa
dawai, bagaimanakah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah
jiwanya – tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya
bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh
manusia it tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu
bagaikan biola tak berdawai…
(BTB: 1)
Gaya
bahasa dalam novel ini kebanyakan menciptakan suasana yang membangun emosional
pembaca pada adegan-adegan baik itu adegan saat Bhisma berusaha memeluk
Renjani, adegan saat Bhisma tahu bahwa Renjani meninggal, maupun saat Dewa dan
Bhisma berada di atas makam Renjani.
Kepuitisan begitu kental mewarnai cerita sehingga menimbulkan kesan
indah bagi pembaca.
4.7 Amanat dalam Novel Biola Tak Berdawai
Cerita dalam novel Biola Tak Berdawai mengandung tema sosial yang kental meski
diselimuti cerita cinta antara Renjani dan Bhisma. Terlebih novel ini
mengangkat cerita mengenai nasib anak-anak tunadaksa yang dibuang dan
disia-siakan begitu saja oleh orang tuanya.
Dilihat dari keseluruhan isi cerita, dapat dikatakan bahwa pengarang
ingin memberikan pesan atau amanat untuk pembaca untuk lebih mengeksplorasi
nilai-nilai dan menumbuhkan kepedulian sosial yang semakin lama semakin
pudar. Pengarang ingin menimbulkan
kepedulian pambaca terhadap nasib anak-anak tunadaksa yang terlantar.
Selain itu, dari kisah kehidupan masa
lalu Renjani dan Mbak Wid, pembaca dapat mengambi pelajaran bahwasanya masa
lalu itu dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran hidup dan menjadi
pertimbangan untuk membuat kehidupan jauh lebih baik. Misalnya saja pembaca dapat mencontoh
tindakan Renjani dan Mbak Wid yang melakukan tindakan positif dengan
mengabdikan diri untuk merawat dan mengasuh anak-anak tunadaksa.
Unsur Ekstrinsik
4.8 Subjektivitas Individu Pengarang dalam Novel Biola Tak Berdawai
Subjektivitas
pengarang dalam hal ini meliputi isi cerita, teknik penyampaian cerita dan gaya
dalam penulisannya. Novel Biola Tak
Berdawai yang diangkat dari sebuah film garapan sutradara Sekar Ayu Asmara
ini berhasil tercipta dari seorang sastrawan yang sudah banyak menelurkan karya
ini. Seno Gumira Adjidarma selaku
pengarangya tentunya memiliki pandangan tersendiri mengapa ia setuju menulis
novel dengan tema sosial. Menurut
pandangan Kafi Kurnia dalam kata pengantar novel, merupakan beban yang super
berat ketika ia mencari penulis yang bisa menerjemahkan jiwa dari film Biola Tak Berdawai secara utuh ke dalam
sebuah novel, dan Seno lah yang berhasil melakukannya.
Seno
yang sudah sering berkarya, khususnya di bidang prosa agaknya sangat setuju dengan pemikiran-pemikiran yang ada dalam film
Biola Tak Berdawai ini. Lelaki yang menyukai tema sosial dalam
menuliskan sebuah karya ini memiliki pandangan yang sejalan dengan cerita dalam
film, yakni memandang anak-anak tunadaksa sebagai suatu keindahan yang tertutup
dan terabaikan oleh banyak orang. Ia
dalam novelnya mencoba membuka perasaan pembaca untuk bisa peduli. Seno pun juga menampilkan isi cerita dengan
teknik dan gaya penulisannya yang khas.
4.9 Psikologi Pengarang dalam Novel Biola Tak Berdawai
Dalam menelurkan sebuah karya, psikologi
pengarang merupakan salah satu aspek yang memperngaruhi isi karya. Psikologi berhubungan dengan pemikiran
pengarang. Seno Gumira Adjidarma memang
bukan pencetus ide cerita. Ia hanya
menginterpretasi sebuah film ke dalam sebuah karya prosa berupa novel. Rupanya
pemikiran isi cerita dalam film itu
sejalan dengan pemikirannya, sehingga ia dapat dengan mudah menuliskan cerita
yang ada di film ke dalam bentuk yang berbeda.
Ini merupaka sebuah proses kreatif dari seorang penulis.
4.10 Lingkungan Pengarang yang Masuk dalam Novel Biola Tak Berdawai
Pengaruh lingkungan baik itu lingkungan
tempat tinggal maupun lingkungan sosial pengarang, sangat mempengaruhi isi
sebuah karya sastra khususnya prosa.
Berbeda dengan filmnya, Seno menambahkan banyak degresi dengan
menyelipkan cerita-cerita wayang Jawa ke dalamnya. Hal ini dikarenakan ia merupakan orang Jawa
dan tinggal di lingkungan yang mayoritas juga merupakan orang Jawa. Lingkungan tempat tinggalnya inilah yang
menjadikannya memiliki bahan untuk menulis cerita-cerita perwayangan yang
umumnya tumbuh di masyarakat Jawa.
Seno Gumira Adjidarma pernah mengenyam pendidikan
di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta (1994), Magister Ilmu
Filsafat, Universitas Indonesia (2000) dan berhasil sampai pada program Doktor
Ilmu Sastra, Universitas Indonesia (2005).
Ia tinggal di lingkungan akademis sebagai dosen, namun ia juga turut
berkecimpung di bidang jurnalistik. Lingkungan sosial tempatnya berinteraksi
ini juga mempengaruhi gaya penulisannya.
Misalnya saja ia banyak menggunakan diksi-diksi dan gaya bahasa yang
puitis dalam novelnya Biola Tak Berdawai
ini. Ini dikarenakan kebiasaannya yang
terbelih dahulu sering bersentuhan dengan dunia sastra baik dalam lingkungan
sosial akademisnya maupun lingkungan sosial pekerjaannya. Dapat dikatkan, dengan kata lain lingkungan
pengarang dapat mempengaruhi karyanya dari berbagai aspek.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan
dari analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel Biola Tak Berdawai
karya Seno Gumira Adjidarma adalah sebagai berikut.
Unsur intrinsik:
1.
Tema yang
diangkat dalam novel Biola Tak Berdawai
adalah tema sosial yang dibumbui tema percintaan.
2.
Plot atau alur
dalam novel Biola Tak Berdawai menggunakan
alur campuran. Novel ini berdasarkan
kriteria waktu menggunakan plot regresif, bersadarkan kriteria jumlah
menggunakan plot ganda, dan berdasarkan kriteria kepadatan termasuk dalam plot
longgar.
3.
Latar terbagi
atas latar waktu, tempat suasana dan sosial.
Latar waktu pada novel ini hanya dijelaskan secara singkat seperti
(malam hari). Latar tempat berpindah-pindah seperti di panti, pantai, sawah,
candi dan makam.
4.
Penokohan
·
Berdasarkan
pentingnya keterlibatan dalam cerita, tokoh utamanya adalah Renjni, Bhisma dan
Dewa, sedangkan tokoh sampingannya
adalah Mbak Wid.
·
Dilihat dari
fungsi penampilan tokoh, yang menjadi tokoh protagonis adala Bhisma, Dewa dan
Mbak Wid, sedangkanmenjadi yang tokoh
antagonis adalah Renjani.
·
Berdasarkan perwatakannya,
yang menjadi tokoh sederhana adalah Dewa dan Bhisma, sedangkan Renjani dan Mbak
Wid merupakan tokoh bulat.
·
Berdasarkan
perkembangan watak, yang menjadi tokoh statis adalah Dewa, Mbak Wid dan Bhisma.
·
Berdasarkan
pencerminannya dengan kehidupan nyata, seluruh tokoh dalam novel ini merupakan
tokoh tipikal.
5.
Gaya bahasa yang
digunakan dalam novel ini kebanyakan menonjolkan unsur kepuitisan.
6.
Amanat yang
terkandung dalam novel ini adalah menumbuhkan kepedulian sosial.
Unsur Ekstrinsik:
1.
Subjektivitas
individu pengarang mempengaruhi isi, teknik penulisan dan gaya pada novel Biola Tak Berdawai.
2.
Psikologi
pengarang mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan proses kreatif dalam cerita yang
disuguhkan dalam novel Biola Tak Berdawai.
3.
Lingkungan
sosial mempengaruhi penulisan karya sastra dari segala aspek.
5.2 Saran
Secara
keseluruhan, novel ini dapat dikatakan memiliki cerita yang unik dan berbeda
dengan cerita-cerita yang ada pada novel kebanyakan. Pengarang mengolah cerita mengenai anak-anak
tunadaksa yang hampir atau mungkin sudah terlupakan kehadirannya oleh
masyarakat. Hal ini tentu saja dapat menumbuhkan kepedulian sosial bagi
pembaca.
Selain
mengenai kepedulian sosial, novel yang dibumbui kisah cinta ini banyak sekali
mengandung pelajaran bagi pembaca seperti indahnya saling berbagi, alangkah
baiknya jika ada masa lalu yang suram apabila digantikan dengan kegiatan yang
berguna, dan lain sebagainya. Cerita-cerita
semacam ini perlu dikembangkan oleh pengarang-pengarang lain, atau dengan kata
lain jangan terlalu sering mengangkat cerita dari tema yang sudah terlalu
banyak muncul. Hadirlah dengan sesuatu
yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Adjidarma, Seno
Gumira. 2004. Biola Tak Berdawai. Jakarta: AKUR.
Aminuddin.
2010. Pegantar Apresiasi Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Nurgiantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sugiarti. 2002. Pengetahuan dan Kajian Prosa Fiksi.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Tim Balai Pustaka, 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wellek, Rene dan
Austin Warren. 1990. Teori Kesustraan.
Jakarta: PT Gramedia.
Rosyid, Abdur.
2009. “Unsur-Unsur Intrinsik dalam Prosa”. (online)
http://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/29/unsur-unsur-intrinsik dalam-prosa/. Diakses (29 Mei 2012).
Tempo. (tanpa
tahun). “Seno Gumira Adjidarma”. (online)
http://duniasastra.proboards.com/index.cgi?board=biography&action=display&thread=201. Diakses (6 Juni 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar