Sabtu, 23 Juni 2012

MEMBENTUK KESANTUNAN BERBAHASA PADA MAHASISWA MELALUI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA


1. Pendahuluan
            Kurang lebih dua belas tahun belajar bahasa Indonesia di bangku sekolah, agaknya anak belum bisa dikatakan memiliki keterampilan berbahasa Indonesia yang baik. Hal ini dibuktikan dengan kurang terampilnya penggunaan bahasa Indonesia baik dalam penuturan maupun penulisan ketika anak sudah duduk di bangku kuliah.  Penuturan yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana anak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika sedang berbicara dengan lawan bicaranya, sedangkan penulisan adalah bagaimana anak menerjemahkan pikirannya ke dalam tulisan berbahasa Indonesia. Padahal menurut Badudu (1992: 8), bahasa Indonesia dalah bahasa pengantar di sekolah sekolah di seluruh Indonesia. 
            Semenjak menduduki bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, anak selalu disibukkan dengan pembelajaran Bahasa Indonesia yang bersifat teoritis dengan praktek yang minim, sehingga hal ini menimbulkan kejenuhan tersendiri. Implikasi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari pun dirasa kurang. Hal seperti ini berimbas pada penggunaan bahasa Indonesia ketika seseorang berada di  perguruan tinggi. 

2. Kesantunan Berbahasa Indonesia
            Menurut KBBI, kesantunan berasal dari kata dasar “santun” yang artinya baik atau halus.  Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terkenal dengan kesantunannya, karena banyak sekali menggunakan pilihan kata yang menyampaikan maksud secara tidak langsung dengan tujuan memeperhalus perkataan di hadapan mitra tutur. Kesantunan berbahasa seperti ini merupakan ciri khas orang Indonesia yang memiliki budi pekerti yang halus dan menghargai orang lain.
            Pemakaian bahasa Indonesia yang santun akan mencerminkan kepribadian. Semakin baik seseorang menggunakan pilihan kata, ungkapan, struktur kalimat dan intonasi yang ketika sedang berkomunikasi, maka semakin baik pula kepribadiannya, begitu pula sebaliknya.   Pemakaian bahasa Indonesia yang santun dapat diidentifikasi ketika (1) penutur  berbicara wajar dengan akal sehat, (2) penutur  mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, (3) penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur, (4) penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum, dan  (5) penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.
             Kesantunan berbahasa dapat disampaikan secara verbal  seperti perkataan ”tolong” pada waktu menyuruh orang lain, ucapan ”terima kasih” setelah orang lain melakukan tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur,  penyebutan kata ”bapak, Ibu” dari pada kata ”Anda”, penyebutan kata ”beliau” dari pada kita ”dia” untuk orang yang lebih dihormati, pergunakan kata ”minta maaf” untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur.  Kesantunan seperti ini dapat terbentuk dari lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial lainnya.  Apabila lingkungannya tersebut memiliki kebiasaan berbahasa yang santun, maka akan memungkinkan seseorang turut terbiasa berbahasa santun.  Namun sebaliknya, apabila lingkungan sekitar tidak memiliki kebiasaan berbahasa yang santun maka dapat memungkinkan pula seseorang tidak mampu berbahasa santun.

3.  Penggunaan Kesantunan Bahasa di Lingkungan Mahasiswa
            Mahasiswa di perguruan tingggi dikatakan sebagai pelajar di ranah tertinggi pendidikan.  Tentunya sebagai pelajar  tertinggi, mahasiswa harus bisa bersikap berbeda dengan orang-orang yang masih mengenyam pendidikan yang tingkatannya berada di bawah perguruan tinggi.  Sikap berbeda itu salah satunya adalah dengan kedewasaan menyikapi segala hal termasuk ketika berkomunikasi.
            Bahasa yang dipakai dalam lingkungan perguruan tinggi tentunya berbeda dengan lingkungan yang berada di luar. Keasantunan berbahasa sangat diutamakan karena perguruan tinggi merupakan salah satu tempat interaksi sosial orang-orang berpendidikan.  Sebagai orang yang berpendidikan tinggi, mahasiswa harus menguasai kesantunan dalam berbahasa.  Namun alangkah disayangkan, masih banyak mahasiswa yang kurang santun ketika berbicara.  Kekurangsantunan itu dapat berupa ketika (1) penutur menyampaikan kritik secara langsung, (2) penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, (3) penutur protektif terhadap pendapatnya, dan (4) penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur.  Padahal hal-hal seperti ini dapat berakibat fatal apabila sedang terjadi komunikasi, terlebih komunikasi yang dilakukan dengan mitra tutur yang merupakan orang-orang besar.

4.  Membentuk Kesantunan Berbahasa Pada Mahasiswa Melalui Mata Kuliah Bahasa
     Indonesia
            Di perguruan tinggi, bahasa Indonesia menjadi mata kuliah wajib.  Secara umum, alasan diwajibkannya mata kuliah ini antara lain : (1) mahasiswa merupakan komponen bangsa yang wajib mempelajari dan mengembangkan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional dari bangsa Indonesia, (2) sebagai alat pengembangan kepribadian oleh setiap mahasiswa, agar mahasiswa dapat memahami konsep penulisan ilmiah dan mampu menerapkan dalam penulisan karya ilmiahnya,dan (3) sebagai alat komunikasi yang sekaligus dapat mengembangkan kecerdasan, karakter dan kepribadiannya.
            Dalam artikel ini, penulis menyoroti alasan terakhir dari ketiga alasan di atas. Mengingat kurangnya pemahaman  pemakaian bahasa Indonesia dalam tindak tindak tutur sebagai alat komunikasi sosial, maka adanya mata kuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi diharapkan dapat menjembatani mahasiswa untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga kesantunan tetap terjaga. Namun, pengajarannya jangan lagi hanya bersifat teoritis dan sama persis dengan yang ada di sekolah-sekolah sebelumnya.  Tingkatan pemahaman ke arah aplikasi berbicara atau berkomunikasi harus lebih ditinjolkan.
            Sangat  disayangkan apabila masih terdapat mahasiswa yang tidak berbahasa Indonesia secara santun seperti menggunakan piihan kata yang kasar, tidak senonoh, dan lain sebagainya. Ini  dikarenakan hal itu dapat mencoreng citra perguruan tinggi sebagai tempat orang-orang mengenanym pendidikan tinggi.
           
5.  Kesimpulan
a)      Kesantunan berbahasa (bahasa Indonesia khususnya) mencerminkan kepribadian penuturnya.
b)      Masih kurangnya kesantunan berbahasa di kalangan mahasiswa
c)      Adanya Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib sedikit banyak bisa mengurangi kekurangsantunan mahasiswa dalam bertutur.

Daftar Pustaka
Badudu, J.S. 1992. Cakrawala Bahasa Indonesia II. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Avina. 2011. “Materi Mata Kuliah Bahasa Indonesia”. (online)                    
Pondok Bahasa. 2008. “Kesantunan Berbahasa Indonesia sebagai Pembentuk Kepribadian
berbahasa-indonesia-sebagai-pembentuk-kepribadian-bangsa/. Diakses (6 Juni
2012).

PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS UNTUK ANAK USIA SD


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Seiring dengan terus bergulirnya arus globalisasi, segalanya hampir tidak punya batas lagi.  Begitu pula dengan bahasa antar negara.  Seluruh negara di dunia sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan bahasanya sendiri untuk hidup berdampingan dengan negara-negara lain.  Berasal dari sini lah akhirnya harus ada satu bahasa yang menjadi bahasa internasional sebagai alat komunikasi yang bisa digunakan di seluruh belahan dunia.  Bahasa Inggris pun dipilih menjadi bahasa internasional itu.
            Keahlian berbahasa internasional (bahasa Inggris) ini diperlukan untuk menguasai ilmu pengetahuan, memiliki pergaulan luas dan karir yang baik. Hal ini membuat semua orang dari berbagai kalangan termotivasi untuk mengusai bahasa Inggris.
            Meningkatnya kebutuhan akan berbahasa Inggris di dunia rupanya juga terjadi di Indonesia.  Bahasa Inggris menjadi penting untuk dipelajari jika tidak ingin tertinggal dengan negara lain.   Maka tidak heran, beberapa tahun belakangan ini pembelajaran bahasa Inggris begitu masif dilakukan di semua tingkat satuan pendidikan, tidak terkecuali pendidikan pra-sekolah yang notabene siswanya dikategorikan sebagai anak usia dini. Banyak institusi pendidikan pra-sekolah, baik yang bertaraf internasional maupun lokal, yang menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran. Bahkan tidak hanya itu, bahasa Inggris juga digunakan oleh para siswa dan guru sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di lingkungan sekolah.
            Tidak hanya sekolah pada tataran atau tingkat SMP dan SMA, pada tingkat SD pun pelajaran bahasa Inggris sudah didiajarkan untuk melatih dasar-dasarnya. Bagi sebagian besar murid di Sekolah Dasar, mata pelajaran bahasa Inggris bisa jadi merupakan mata pelajaran baru dan sulit. Hal ini dikarenakan kebiasaan berbahasa mereka di rumah tidak menggunakan bahasa Inggris.


1.2  Rumusan Masalah
            Rumusan masaah yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain:
  1. Pendekatan teoritis apa saja yang dapat digunakan dalam pembelajaran penguasaan bahasa Inggris (khususnya untuk anak usia SD)?
  2. Bagaimana karakteristik pemerolehan bahasa pada anak usia SD sebagai pembelajar bahasa?
  3. Bagaimana metode pembelajaran bahasa Inggris untuk anak usia SD?
  4. Kegiatan apa saja yang dilakukan dalam pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia SD?
  5. Bagaimana Implikasi positif pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia SD?

1.3  Batasan Masalah
Batasan masalah dalam suatu kajian atau analisis  sangatlah penting dalam menentukan arah tujuan penulisan.  Oleh karena itu dalam bahasan yang memiliki tema utama “belajar bahasa pada anak, orang dewasa, baik belajar B1 atau B2 dan bahasa sasaran/target lainnya”  penulis membatasi pembahasan dengan belajar bahasa kedua (bahasa Inggris) yang dikhususkan bagi anak usia SD.

1.4  Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan karya tulis ini antara lain :
  1. Menambah pengetahuan mengenai bagaimana pembelajaran bahasa kedua (bahasa Inggris) pada anak usia SD.
  2. Memperoleh pengetahuan mengenai metode dan implikasi positif pembelajaran bahasa Inggris anak usia SD.
  3. Dapat mengaplikasikan teori mengenai pembelajaran bahasa Inggris bagi anak usia SD yang ada di sekitar.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar, implisit, dan informal. Pemerolehan bahasa juga disebut sebagai proses alami dalam diri seseorang untuk menguasai bahasa atau proses seseorang mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal.  Pemerolehan bahasa dibagi menjadi dua yaitu pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) dan pemerolehan bahasa kedua (bahasa asing).
2.1.1  Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa adalah bahasa pertama yang diperoleh dan dipahami anak dalam kehidupan dan berkomunikasi di lingkungannya (Suhartono, 2005: 81).  Bahasa pertama disebut juga sebagai bahasa ibu,  karena anak pertama kali berintaraksi dan belajar dengan ibu. Pemerolehan bahasa pertama (B1)  terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa.
2.1.2  Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh setelah bahasa pertama.  Bahasa kedua didapat oleh anak dari lingkungan, baik lingkungan sekitar rumaha atau tempat bermain maupun lingkungan sekolah.

2.2  Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua
            Di Indonesia, bahasa pertama atau bahasa ibu yang dikuasai anak kebanyakan merupakan bahasa daerah. Sedangkan bahasa kedua yang dikuasai adalah bahasa Indonesia.  Namun seiring dengan bergulirnya arus globalisasi, bahasa kedua yang didapat anak tidak lagi hanya bahasa Indonesia akan tetapi ditambah lagi dengan bahasa Inggris.
Milafaila (2011) merangkum beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembelajaan bahasa Inggris pada anak usia SD. Di antaranya adalah kebijakan Depdikbud RI Nomor 0487/14/1992 Bab VIII menyatakan bahwa Sekolah Dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, dengan syarat pelajaran ini tidak tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan Nasional. Kebijakan ini kemudian ditindak lanjuti melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris lebih dini sebagai satu mata pelajaran muatan lokal di Sekolah Dasar. Kebijakan tentang program bahasa Inggris ini selanjutnya ditindaklanjuti oleh beberapa propinsi, bahkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur mengeluarkan Surat keputusan Nomor 1702/105/1994 tanggal 30 Maret 1994 yang menyatakan bahwa mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib.
           


BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Pendekatan Teoritis
            Menurut Bohannon dan Warren-Leubecker dalam dalam Cahyono (1997: 136-137) terdapat empat pendekatan penguasaan bahasa Inggris.  Keempat pendekatan itu adalah pendekatan behavioristik (behavioristic approach), pendekatan linguistic (linguistic approach), pendekatan interaksionis-kognitif (cognitive-interactionist approach) dan pendekatan interaksi sosial (social interaction approach).
3.1.1  Pendekatan Behavioristik
            Pendekatan behavioristik memfokuskan pada belajar yang didasarkan pada hubungan stimulus-respons. Inti pandangan model ini ialah Language is a function of reinfoercement.  Menurut teori ini anak-anak mula-mula merupakan tabula rasa. Kata-kata yang didengarnya disimpan di dalam ingatan melalui asosiasi. Kemudian dalam observasinya sehari-hari terhadap lingkungan, ia melihat adanya suatu hubungan antara entry (kombinasi antara objek dengan person) dengan suatu aksi tertentu. Lama-lama terjadi asosiasi yang kuat antara keduanya dan asosiasi tersebut disimpannya dalam ingatan (memory). Makin banyak asosiasi yang terjadi dan disimpan dalam ingatannya.
3.1.2  Pendekatan Linguistik
Menurut pendekatan linguistik, anak memiliki struktur bahasa atau gramatika yang independen.  Pendekatan ini juga mempercayai adanya mekanisme alamiah (innate machanism) yang  memadu penguasaan bahasa anak.  Anak-anak dipandang memiliki piranti pemerolehan bahasa yang dikenal dengan sebutan LAD (Language Acquisition Device).  Piranti pemerolehan bahasa ini membantu anak memperoleh struktur gramatikal bahasa orang dewasa yang sangat kompleks.  Secara alamiah piranti ini membantu memperkenalkan anak-anak pada semesta bahasa, membantu pemahaman, dan menghasilkan kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya.

3.1.3  Pendekatan Interaksi Kognitif
Menurut pendekatan ini, bahasa merupakan suatu pengungkapan seperangkat kemampuan kognitif yang lebih umum.  Perkembangan sistem kognitif yang memadai merupakan dasar pengungkapan bahasa.  Tugas utama para penganut pedekatan interaksi kognitif ini adalah mengidentifikasikan urutan kematangan kognitif  dan menjelaskan bagaimana perkembangan kognitif itu dapat menghasilkan pemerolehan bahasa.
3.1.4  Pendekatan Interaksi Sosial
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa perkembangan bahasa merupakan hasil pemerolehan kaidah-kaidah gramatikal.  Lingkungan dipandang sebagai sumber masukan pengalaman bahasa yang diperlukan untuk perkembangan.   Hubungan interaksi sosial dan pemerolehan bahasa itu sendiri merupakan hubungan yang saling menguntungkan.  Interaksi sosial membantu pemerolehan bahasa dan pemerolehan bahasa itu juga mematangkan interaksi sosial.
            Pengajaran bahasa Inggris untuk anak dengan mengambil sisi-sisi baik dari masing-masing pendekatan ini amat disarankan.  Misalnya saja, anak-anak tetap perlu diberi stimulus bahasa Inggris maupun penguatan terhadap stimulus itu.  Mereka juga perlu  diberi kesempatan untuk berkomunikasi dan mengungkapkan kemampuan berbahasanya secara kreatif dan bukan imitatif. Pemberian kesempatan berbahasa Inggris kepada anak-anak dalam suasana interaktif dan bermakna akan menambah keberhasilan pengajaran itu.

3.2  Karakteristik Anak Usia SD sebagai Pembelajar Bahasa
            Pembelajaran bahasa Inggris yang melibatkan anak usia SD sebagai pembelajar mengharuskan guru selaku pengajar untuk memahami kalakteristiknya.  Hal ini dilakukan agar guru dapat menentukan metode apa yang tepat untuk dapat diterapkan kepada siswanya.  Karakteristik itu antara lain :
  1. Mereka suka belajar sambil bermain
  2. Mereka dapat menceritakan apa yang mereka lakukan dan dengarkan
  3. Mereka memiliki perhatian dan konsentrasi yang singkat (tidak tahan lama)
  4. Mereka mempelajari bahasa Inggris dengan cara menyimak, menirukan dan mengucapkan
  5. Mereka sebenarnya belum menyadari untuk apa belajar bahasa asing walaupun mereka senang dan bersemangat
  6. Anak belajar dengan baik ketika mereka diberi motivasi untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan yang berhubungan dengannya.

3.3  Metode Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak SD
            Metode pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris.  Oleh karena itu, guru harus memilki metode yang menarik bagi anak (terutama usia SD) dengan memperhatikan karakteristiknya.  Berikut beberapa metode pembelajaran bahasa Inggris bagi untuk anak usia SD yang dapat diterapkan:
  1. Listen and Repeat
Dalam teknik pembelajaran ini, pengajar mengucapkan sesuatu dan anak hanya mendengarkan. Kemudian pengajar mengucapkan lagi dan anak diminta mengulang apa yang diucapkan oleh guru.
  1. Listen and Do
Dalam kegiatan ini pengajar mengucapkan suatu ungkapan atau perintah, anak mendengarkan baik-baik kemudian anak melakuakn apa yang dikatakan pengajar.
  1. Question and Answer
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan anak mulai bertanya dan memberi contoh jawabanya. Kemudian siswa menirukan, setelah itu pengajar bertanya, dan meminta anak menjawab.
  1. Subtitution
Dalam teknik ini pengajar menghilangkan salah satu bagian kalimat dan meminta anak untuk mengganti dengan kata lain yang sejenis. Salah satu teknik yang sangat luwes adalah menggunakan ungkapan ”Let’s……..” yang merupakan ajakan kepada anak untuk melakuakan sesuatu.


  1. Draw and Colour
Pembelajaran bahasa Inggris dapat ditambah dengan kegiatan menggambar dan mewarnai setelah mereka mengenal beberapa kata, benda, atau warna.
  1. See differences
Kegiatan ini melatih anak melakukan observasi untuk menmukan persamaan atau perbedaan dua benda atau gambar. Hal ini melatih ketelitian dan dapat menyenangkan anak.
  1. Kegiatan berpasangan
Kegiatan yang dilakuakan oleh siswa secara berpasangan atau berdua dapat melatih anak berintarksi dan berkomunikasi. Kegiatan ini bisa juga bisa berupa kegiatan question-answer.
  1. Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)
Anak dapat belajar dari temannya melalui cooperative learning. Kelompok dapat bekerja sama untuk membuat laporan atau tugas yang diberikan pengajar, seperti puzzle, teka-teki, dll.
  1. Pemodelan dan demonstrasi
Pemodelan merupakan strategi untuk memberi contoh kepada anak bagaiman mereka melakukan, belajar, dan membuat sesuatu. Pemodelan di umumnya dapat berupa pronunciation drill (latihan pengucapan).
  1. Concept Mapping
Concept mapping biasanya digunakan untuk melatih anak mengaitkan suatu konsep atau sesuatu yang sudah diketahui dengan konsep lain atau hal-hal lain yang erat hubungannya.

3.4  Kegiatan Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak Usia SD
Menurut Kasihani K.E. Suyanto (2008: 23), kegiatan anak (termasuk anak usia SD) dalam pembelajaran mencakup semua kompetensi bahasa yang berupa keterampilan menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Keterampilan bahasa ini disajikan secara terpadu, seperti apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
  1. Keterampilan menyimak (listening)
Bagi anak, menyimak adalah suatu kegiatan yang sulit karena kosa kata mereka masih sangat terbatas. Kesulitan mereka akan terbantu jika apa yang disampaikan diiringi dengan gerakan tangan, ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Hal ini akan membuat mereka termotivasi dari pada jika mereka diminta mendengar.
  1. Keterampilan berbicara (speaking)
Dari semua insting yang dimiliki anak sebagai pembelajar muda bahasa Inggris, insting untuk berinteraksi dan berbicara adalah yang paling penting untuk pembelajaran bahasa Inggris. Anak-anak biasanya ingin segera menggunakan bahasa yang mereka pelajari untuk berkomunikasi.
  1. Keterampilan membaca (reading)
Dalam melaksanakan kegiatan membaca, anak hendaknya paham tujuan dari kegiatan tersebut, apakah mereka membaca untuk mengerti dari bacaan itu atau mereka harus membaca untuk mendapatkan informasi tertentu saja. Anak tidak harus mengerti arti kata perkata, yang penting mereka bisa mengerti konteks dari suatu bacaan. Sebaiknya untuk kegiatan membaca dipilih topik yang berhubungan dengan minat anak, sesuatu yang berhubungan dengan lingkungannya, sesuatu yang menarik serta berhubungan dengan topik yang dibahas saat itu. Pengetahuan umum dan perbendaharaan kata yang telah dimiliki serta penggunaan gambar dapat membantu anak dalam mengerti suatu bacaan.
  1. Keterampilan Menulis (writing)
Keterampilan menulis merupakan kelanjutan dari kegiatan terdahulu. Kegiatan itu hendaknya disesuaikan dengan usia dan tingkat kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa Inggris. Writing merupakan keterampilan yang kompleks karena memerlukan kemampuan mengeja, struktur, dan penggunaan kosakata.
Kegiatan belajar bahasa Inggris pada anak usia dini (khususnya usia SD) lebih dititik beratkan pada kegiatan listening dan speaking. Hal ini dikarenakan untuk kemampuan-kemampuan seperti reading maupun writing belum bisa dikuasai secara baik oleh anak, mengingat adanya perbedaan antara tulisan dan pengucapan bahasa inggris, sehingga anak akan mengalami kesulitan, karena belum sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya.

3.5  Implikasi Positif Pembelajaran Bahasa Inggris pada Anak Usia SD
Pembelajaran bahasa Ingrris pada anak usia SD memiliki implikasi positif bagi kehidupan sehari-hari. Menurut Marcoz dalam Mulyadin (2012), terdapat tiga implikasi positif pembelajaran bahasa Inggris yaitu meliputi aspek kognitif (cognitive), kepribadian (personality), dan sosial (societal).
  1. Aspek Kognitif
Melalui pembelajaran dan penguasaan bahasa asing (bahasa Inggris), anak cenderung lebih kreatif dan mampu berpikir kompleks sehingga mereka dapat memecahkan permasalahan yang rumit. Selain itu, kemampuan berbahasa mereka yang makin terasah akan meningkatkan potensi kemampuan otak kiri. Tentu saja, kemampuan lainnya yang berada di otak kiri, seperti matematik dan rasional, akan ikut meningkat. Oleh karena itu, dengan kata lain kemampuan anak berbahasa asing memberikan pengaruh positif pada pelajaran lainnya.
  1. Aspek kepribadian
Anak yang mampu berbahasa asing memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena mereka lebih berani untuk mengekspresikan dirinya. Disamping rasa percaya diri, melalui pengajaran bahasa asing yang mencakup berbagai topik di dalamnnya, rasa ingin tahu mereka terbentuk dan mereka akan lebih termotivasi untuk mempelajari hal-hal yang baru. Rasa percaya diri dan motivasi belajar menjadi hal yang lebih menonjol pada mereka dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki kemampuan bahasa asing.
  1. Aspek sosial
Anak yang terbiasa dengan bahasa asing akan lebih terbuka dengan perbedaan dan memiliki kesempatan lebih banyak untuk berkomunikasi khususnya dengan orang asing. Oleh karena itu, mereka akan mudah untuk bersosialisasi terlebih dengan perkembangan teknologi komunikasi dan jejaring sosial yang makin pesat anak dapat membuat pertemanan mereka lebih luas.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
            Pembelajaran bahasa Inggris sekarang ini sudah bukan hal asing lagi jika diajarkan pada anak usia dini, khususnya anak usia SD (6-12) tahun.  Penguasaan bahasa Inggris rupanya sudah menjadi kebutuhan bagi pelajar bahkan di hampir semua jenjang pendidikan. Pembelajaran bahasa Inggris dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan teoritis seperti pendekatan behavioristik, pendekatan linguistik, pendekatan interaksi kognitif, dan pendekatan interaksi sosial.
            Dalam mengajarkan bahasa  Inggris pada anak usia SD, pengajar harus terlebih dahulu mengetahui karakteristik anak yang diajarnya.  Hal ini diperlukan agar pengajar dapat menentukan metode belajar seperti apa yang sesuai jika diterapkan pada anak usia SD, karena setiap jenjang usia memiliki karakteristik yang berbeda-beda terlebih dalam aspek kognitifnya. Selain itu pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia SD juga harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa Inggris seperti bahasa ibu, bahan ajar, interaksi sosial, latar belakang keluarga dan media pembelajaran.
Kegiatan belajar bahasa Inggris meliputi menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading) dan menulis (writing).  Namun, untuk anak usia SD pembelajaran lebih ditekankan pada listening dan speaking.  Tentunya pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia SD ini memiliki implikasi positif, di antaranya dapat dilihat dari aspek kognitif, kepribadian dan sosial.

4.2  Saran
            Pembelajaran bahasa Inggris yang sudah menjadi kebutuhan hendaknya tidak dijadikan beban.  Sudah sepatutnya anak sudah dikenalkan dengan bahasa Inggris sejak dini sebagai persiapan dalam menghadapi tantangan arus globalisasi yang mengharuskan adanya penguasaan bahasa Inggris sebagai penunjang.  Namun, kita tidak boleh melupakan begitu saja bahasa bangsa sendiri yaitu bahasa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Bambang Yudi. 1997. Pengajaran Bahasa Inggris. Malang: Penerit IKIP Malang.
Suhartono. 2005. Pengembangan Keterampilan Bicara Anak Usia Dini. Jakarta: Diknas.
Suyanto, Kasihani K.E. 2008. English For Young Learners. Jakarta: Bumi Aksara.
Milafaila. 2011.  “Pemanfaatan Media Audio Visual sebagai Upaya untuk Meningkatkan Penguasaan Bahasa Inggris Anak Usia Dini”. (Online) http://failashofagmail.wordpress.com/2011/05/05/21/.  Diakses 11 Juni 2012.
Mulyadin, Taufik. 2012. “Bahasa Inggris dan Pembentukan Karakter Anak Sejak Dini”. (Online) http://pojokkangadin.blogspot.com/2012/02/bahasa-inggris-dan-pembentukan-karakter.html. Diakses 14 Juni 2012.

PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP KEMANDIRIAN ANAK


ABSTRAK
Bimbingan orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kemandirian anak, karena orang tua merupakan  lingkungan terdekat dan memiliki porsi interaksi paling banyak dengan anak.    Kemandirian memiliki tingkatan dan karakteristik tertentu yang perlu diperhatikan betul oleh orang tua dalam memberikan bimbingan.  Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian pada anak yang menjadikan anak itu mandiri atau tidak. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang dapat dijadikan patut diperhatikan orangtua dalam membimbing kemandirian anak sejak dini.

Kata kunci : bimbingan orang tua; kemandirian anak; tingkatan dan karakteristik; faktor kemandirian.

1. LATAR BELAKANG
            Semua orang tua tentunya menginginkan anaknya menjadi manusia yang bekepribadian baik dan sukses.  Tentunya hal ini harus diimbangi dengan bagaimana orang tua itu membimbing anaknya.  Orang tua dituntut dengan kesabaran, keuletan dan kesungguhan agar harapan itu dapat terwujud.  Salah satu cara menjadikan anak berkepribadian baik dan sukses adalah dengan menanamkan sikap kemandirian pada anak.
Kemandirian merupakan salah satu aspek penting penunjang keberhalisan anak mencapai masa depan, karena dengan mandiri anak itu tidak akan terus bergantung pada orang lain.  Namun, tidak semua semua anak bisa berlaku mandiri dengan sendirinya. Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola pengasuhan dan bimbingan orang tua. Di dalam lingkungan keluarga, orang tua lah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri.
Terkadang orang tua baru menyadari pentingnya kemandirian setelah anak duduk di bangku sekolah.  Sementara itu mungkin anak sudah cukup untuk diajar mandiri.  Sebenarnya, mulai usia dua tahun anak telah menunjukkan tanda-tanda untuk menjadi pribadi yang mempunyai keinginan-keinginan sendiri.  Saat ini adalah saat yang tepat untuk membentuknya menjadi pribadi yang mampu berdiri sendiri (Sobur, 1986: 60).
Mengajarkan kemandirian pada anak sejak dini memang bukan hal yang mudah.  Terlebih banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian pada anak seperti faktor bawaan, pola asuhan, kondisi fisik anak dan urutan kelahiran.  Tingkat dan karakteristik kemadirian setiap anak pun berbeda-beda, sehingga orang tua harus lebih peka dalam menentukan pola bimbingan kepada anak-anaknya.
Sejauh ini, masih banyak anak yang hingga usia dewasa pun masih tergantung kepada orang tua.  Salah satu contohnya adalah dalam hal pemilihan fakultas/jurusan ketika anak memasuki jenjang perkuliahan.  Masih banyak orang tua yang ngotot memasukkan anak mereka ke fakultas/jurusan yang mereka kehendaki tanpa mempertimbangkan bakat dan minat anak itu sendiri.  Akibatnya, sang anak kehilangan motivasi dan semangat belajar, atau bahkan kehilangan gairah belajar dan tak jarang berakhir dengan Drop Out.  Hal-hal seperti dikemukakan di atas lah yang akhirnya menarik perhatian penulis untuk membuat artikel dengan judul “Pengaruh Bimbingan Orang Tua terhadap Kemandirian Anak”.

2. PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
            Bukowsky , Brendgen dan Vitaro dalam King (2010: 194) mengatakan bahwa orang tua dan teman sebaya merupakan pengaruh terbesar ada perkembangan remaja.  Remaja dalam hal ini dikaitkan dalam lingkupnya sebagai anak.  Salah satu tugas perkembangan yang penting bagi remaja adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang kompeten dengan cara yang semakin mandiri (Collins & Steinberg dalam King, 2010: 194).
            Orang tua berperan besar dalam mengajar, mendidik, memberikan bimbingan, dan menyediakan sarana belajar serta memberi teladan pada anak sesuai dengan nilai moral yang berlaku atau tingkah laku yang perlu dihindari (Gunarso dalam Blogger Indonesia, 2010).  Anak belajar memerlukan bimbingan dari orang tua agar sikap dewasa dan tanggung jawab belajar tumbuh pada diri anak (Ahmadi dalam Blogger Indonesia, 2010).  Dalam hal ini belajar pada anak tidak hanya dikaitkan dengan pelajaran di sekolah, namun juga belajar bertindak, bersikap dewasa, bersosial, dan lain sebagainya.
            Anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibandingkan waktunya di sekolah atau waktu berinteraksi dengan lingkungan luar.  Oleh karena itu, intensitas interaksi mereka lebih banyak dilakukan dengan lingkungan rumah atau keluarga yang dalam hal ini adalah orang tua.  Intensitas pertemuan yang banyak ini lah yang menjadikan orang tua memiliki peran atau pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya ke arah manapun yang mereka kehendaki.
           
3. PENGERTIAN KEMANDIRIAN ANAK
            Desmita (2011: 185) mengungkapkan pengertian kemandirian sebagai kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.  Lebih dari itu Desmita menjelaskan  bahwa kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan sendiri, serta mampu  mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain.
            Menurut Robert Havighurst dalam Desmita (2011: 186),  kemandirian dibedakan menjadi empat bentuk antara lain sebagai berikut.  Pertama, kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengatur emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain atau orang tua.  Kedua, kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain atau orang tua.  Ketiga, kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Kemandirian intelektual ini merujuk pada kemampuan berpikir, menalar, memahami beragam kondisi, situasi dan gejala-gejala masalah sebagai dasar usaha mengatasi masalah.  Sedangkan yang keempat, kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain atau kemampuan untuk berani secara aktif membina relasi sosial  dan tidak tergantung pada aksi orang lain.
            Pada anak, kemandirian dapat diamati dari hal-hal kecil seperti menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri, tidur terpisah dengan orang tua, berangkat sekolah sendiri, mengatur pengeluaran uang sakunya sendiri dan lain sebagainya.  Menurut Sobur (1986: 58-59) sebenarnya, semenjak lahir setiap anak berusaha keras untuk menjadi tidak tergantung pada orang lain.  Misalnya saja pada saat anak belajar berjalan, pada mulanya proses belajar ini memang memerlukan bantuan orang lain.  Namun keinginan anak untuk bisa  berjalan ini lah yang disebut bahwa anak tersebut tidak ingin lagi tergantung pada orang lain untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain atau dengan kata lain anak ingin melakukan sendiri perpindahan itu tanpa harus meminta bantuan orang lain seperti digendong dan lain sebagainya.

4. TINGKATAN DAN KARAKTERISTIK KEMANDIRIAN ANAK
            Desmita (2011: 187-188) memaparkan tingkatan dan karakteristik kemandirian beradasarkan pendapat Lovinger ke dalam enam tingkatan sebagai berikut.  Tingkatan pertama adalah tingkat impulsif dan melindungi diri.  Ciri-cirinya antara lain: peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain; mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik; berpikir tidak logis dan tertegun  pada cara berpikir tertentu (stereotype); cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games; dan cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
            Tingkat kedua adalah tingkat konformistik.  Ciri-cirinya: peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial; cenderung berpikir stereotype dan klise; peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal; bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian; menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya intospeksi; perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal; takut tidak diterima kelompok;  tidak sensitif terhadap keindividualan; dan merasa berdosa jika melanggar aturan.
            Tingkat ketiga adalah tingkat sadar diri.  Ciri-cirinya: mampu berpikir alternatif; melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi ; peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada; menekankan pada pentingnya memecahkan masalah; memikirkan cara hidup; dan penyesuaian terhadap situasi peranan.
            Tingkatan keempat adalah tingkat saksama (conscientious).  Ciri-cirinya antara lain: bertindak atas dasar nilai-nilai internal; mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan; mampu melihat keragaman emosi, motif dan perspektif diri sendiri maupun orang lain; sadar akan tanggung jawab mampu melakukan kritik dan penilaian diri; peduli akan hubungan mutualistik; memiliki tujuan jangka panjang; cenderun melihat peristiwa dalam konteks sosial; dan berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.
            Tingkatan kelima adalah tingkat individualitas.  Ciri-cirinya: peningkatan kesadaran individualitas; kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan; menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain; mengenal eksistensi perbedaan individual; mampu bersikap toleran teradap pertentangan dalam kehidupan; membedakan kehidupan internal dengan kehidupa luar dirinya; mengenal kompleksitas diri; dan peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
            Tingkatan keenam adalah tingkat mandiri.  Ciri-cirinya antara lain: memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, cenderung bersikap realistic dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain; peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan sosial; mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan; toleran terhadap ambiguitas; peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment), ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal; responsif terhadap kemandirian orang lain; sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain; dan mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.

5. FAKTOR-FAKTOR KEMANDIRIAN
Kemandirian pada anak muncul tanpa selalu dapat diprediksi melalui usia, namun dapat dilihat ketika anak sudah mulai memiliki keinginan sendiri, atau dengan kata lain tingkatan usia tidak mesti berpengaruh terhadap kemandirian anak.  Ada anak yang usianya sudah beranjak dewasa atau bahkan sudah dewasa pun masih belum memiliki sikap mandiri.  Namun ada pula anak yang usianya masih sangat dini sudah memiliki sikap yang mandiri.  Hal ini ditentukan oleh beberapa faktor seperti yang diungkapkan Dra. Mayke Sugianto Tedjasaputra, M. Si dalam Arbya (2011) berikut.
Pertama, faktor bawaan, dimana ada anak yang berpembawaan mandiri, ada yang memang suka menikmati jika dibantu orang lain.  Kedua, faktor pola asuh yang memungkinkan anak berpembawaan mandiri menjadi tidak mandiri karena sikap orang tua yang selalu membantu dan melayani.  Ketiga, faktor kondisi fisik anak, misalnya anak yang kurang cerdas atau memiliki penyakit bawaan, bisa saja diperlakukan lebhih “istimewa” ketimbang saudara-saudaranya sehingga menjadikan anak tidak mandiri.  Keempat, urutan kelahiran, contohnya anak sulung cenderung lebih diperhatikan, dilindungi, dibantu, apalagi orang tua belum cukup berpegalaman.  Anak bungsu cenderung dimanja, apalagi bila selisih usianya cukup jauh dari kakaknya.

6.  PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP KEMANDIRIAN ANAK
            Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa orang tua memiliki pengaruh bimbingan yang sangat besar terhadap anak termasuk memberikan pengaruh dalam hal bimbingan terhadap anak untuk mencapai kemandirian.  Ini dikarenakan orang tua merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dalam interaksinya sehari-hari.
            Anak tumbuh dan berkembang sepanjang hidup mereka. Tingkat ketergantungan berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan aspek-aspek kepribadian dalam diri mereka. Kemandirian pun menjadi sangat berbeda pada rentang usia tertentu. Kemandirian sangat tergantung pada proses kematangan dan proses belajar anak. Anak tumbuh dan berkembang dalam lingkup sosial. Lingkup sosial awal yang meletakkan dasar perkembangan pribadi anak adalah keluarga. Dengan demikian orang tua memiliki porsi terbesar untuk membawa anak mengenal kekuatan dan kelemahan diri untuk berkembang, termasuk perkembangan kemandiriannya (Sourie, 2012).
Anak-anak akan berkembang melalui berbagai tingkat dari sikap ketergantungan kepada orang ke tingkat kemandirian yang penuh apabila mereka diberi dorongan  semangat untuk melakukannya.  Orang tua harus memberikan dorongan keberanian dan latihan yang cukup memadai, mengerjakan pekerjaan rutin  tersebut bagi anak-anaknya (Balson, 1987: 137).
            Kemandirian akan membawa anak kepada hal-hal posistif.  Misalnya saja dengan mandiri, anak dapat tidak lagi bergantung pada pertolongan orang lain, tidak bingung ketika menghadapi suatu masalah, menjadi lebih kreatif dan inovatif. Fatimah (2008: 144) menjelaskan bahwa kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini.  Mengingat banyaknya dampak positif bagi perkembangan individu, kemandirian sebaiknya diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya.  Seperti telah diakui, segala sesuatu yang dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan akan semakin berkembang menuju kesempurnaan.
            Namun, seperti yang diungkapkan Simanjuntak (2011) bahwa membentuk kemndirian anak sejak dini itu gampang-gampang susah.  Hak ini tergantung dari orang tua anak dalam memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak. Hal ini tergantung dari orang tua anak dalam memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak. Tentu saja ini merupakan tugas orang tua untuk selalu mendampingi anaknya, sebab orang tua adalah lingkungan yang paling dekat dan bersentuhan langsung dengan anak. Peran orang tua atau lingkungan terhadap tumbuhnya kemandirian pada anak sejak usia dini merupakan suatu hal yang penting. Hal ini mengingat bahwa kemandirian pada anak tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Anak perlu dukungan, seperti sikap positif dari orang tua dan latihan-latihan ketrampilan menuju kemandiriannya.
            Tingkat kemandirian anak yang semakin lama semakin berkembang akan membedakan tingkat kemandiriannya saat remaja. Lebih lanjut Fatimah (2008: 145) menambahkan, dalam mencapai keinginannya untuk mandiri, sering remaja mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan masih adanya kebutuhan untuk tetap bergantung pada orang lain.  Remaja yang dalam hal ini bertindak sebagai anak, cenderung mengalami kebingungan ketika orang tua mereka bersikap memanjakan ketimbang mengajari tentang kemndirian.  Padahal secara alamiah anak/remaja sudah memiliki keinginan untuk bersikap mandiri.
            Sejauh ini banyak orang tua yang mengeluh karena anaknya tidak mandiri.  Segala sesuatu yang anak lakukan  meskipun itu merupakan hal yang kecil masih saja tergantung pada orang tua.  Misalnya saja dalam mengatur waktu, mengerjakan tugas rumah maupun sekolah dan sebagainya.  Orang tua yang tidak atau kurang mengerti trik membentuk kemandirian anak menjadi panik dan memilih jalan mudah, yaitu dengan memenuhi tuntutan anak atau ahkan memberikan perhatian yang berlebihan tanpa memikirkan dampaknya.
            Bicara mengenai dampak, ketidakmandirian pada anak dapat mengakibatkan anak menjadi malas, selalu tergantung pada orang lain, tidak kreatif dan sulit berinteraksi dengan lingkungan luar. Oleh karena itu, masih menurut Fatimah (2008: 146-148), kemandirian anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Orang tua harus bertindak dalam menyikapi tuntutan kemandirian pada anak. Berikut beberapa saran yang patut dipertimbangkan.
            Pertama adalah komunikasi.  Orang tua dapat mengetahui pandangan-pandangan dan kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kedua yaitu kesempatan.  Orang tua sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil dan melaksanakan keputusan  sendiri serta mengatasi sendiri masalah yang dihadapi tanpa terlalu banyak campur tangan orang tua.  Ketiga adalah tanggung jawab.  Bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci menuju kemandirian yang mengajarkan anak untuk melakukan segala hal dengan hati-hati jika tidak ingin merasakan dampak negatif.  Keempat yaitu konsistensi. Konsistensi orang tua dalam menanamkan kemandirian pada anak akan menjadi panutan bagi anak  untuk dapat merancang hidupnya sendiri.
            Senada dengan Fatimah, Trisni (2009) mengemukakan tiga hal yang perlu diperhatikan dalam membentuk kemadirian anak.  Pertama adalah dengan menanamkan rasa percaya diri.  Percaya diri terbentuk ketika anak diberikan kepercayaan untuk melakukan suatu hal yang ia mampu kerjakan sendiri.  Kedua adalah membentuk kebiasaan anak agar tidak selalu tergantung dan dilayani oleh orang tuanya. Ketiga adalah dengan membiasakan kedisiplinan pada anak.

7. KESIMPULAN
            Pengaruh bimbingan orang tua terhadap kemandirian anak sangatlah besar.  Hal ini dikarenakan porsi orang tua dalam berinteraksi dengan anak juga besar.  Kemandirian yang berarti kemampuan anak menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan sendiri, serta mampu  mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain, tentunya membutuhkan bimbingan dari orang tua selaku pemegang kunci kesuksesan anak kelak.
            Kemandirian pada anak  memiliki tingkat dan karakteristik tertentu yang perlu diperhatikan betul oleh orang tua.  Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian pada anak yang menjadikan anak itu mandiri atau tidak.  Sering kali terjadi kesalahan atau ketidakmengertian orang tua mengenai kemandirian anak sehingga masih banyak anak yang meski usianya sudah beranjak dewasa, namun belum juga memiliki sikap yang mandiri.
            Ada beberapa hal yang patut diperhatikan orang tua jika ingin mengajarkan kemandirian pada anak sejak dini yaitu dengan mepererat komunikasi dengan anak, memberikan anak kesempatan dan bertanggung jawab dalam melakukan berbagai hal, serta konsistensi orang tua dalam memberikan bimbingan.  Selain itu orang tua juga harus menanamkan rasa percaya diri, kebiasaan untuk tidak bergantung pada orang lain dan kedisiplinan pada anak.

DAFTAR PUSTAKA
Balson, Maurice. 1993. Bagaimana Menjadi Orang Tua yang Baik. Jakarta: Bumi Aksara.
Desmita. 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fatimah, Enung. 2008.  Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung:
CV Pustaka Setia.
King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Sobur, Alex. 1986. Komunikasi Orang Tua dan Anak. Bandung: Angkasa.
Arbya, Nety. 2011.  “Membentuk Kemandirian Anak”. (Online) http://keluargasehat.wordpress.com. (diakses 29 Mei 2012).
Indonesia, Blogger. 2010. “Teori Tentang Bimbingan Orang Tua”. (Online) http://heruid.blogspot.com/2010/02/teori-tentang-bimbingan-orang-tua.html. (diakses 9 Juni 2012).
Simanjuntak, Lisber. 2011.  “Menanamkan Kemandirian pada Anak Sejak Usia Dini”. (Online) http://www.bpplsp-reg-1.go.id/buletin/read.php?id=74&dir=6&idStatus=0. (diakses 29 Mei 2012).
Sourie, Julak. 2012.  “Peranan Orang Tua dalam Mengembangkan Kemandirian Anak”. (Online) http://julak-net.blogspot.com/2012/04/peranan-orangtua-dalammengembangkan.html. (diakses 29 Mei 2012).
Trisni, Inda. 2009.  “Melatih Kemandirian Anak”. (Online) http://harikuakhiratku.blogspot.com/2009/07/melatih-kemandirian-anak.html. (diakses 29 Mei 2012).