Sabtu, 23 Juni 2012

ANALISIS KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI PADA LIMA PUISI TAUFIK ISMAIL DALAM “MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA”


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Puisi merupakan salah satu genre sastra yang makin lama makin berkembang dari waktu ke waktu, baik dari segi bentuk maupun jumlah peminatnya.  Sebagai sebuah karya sastra, puisi tentunya memiliki hakikat dan fungsi yang disebut dulce et utile. Dulce artinya menyenangkan, sedangkan utile artinya bermanfaat.  Jika menyoroti hakikat dulce, penyair berusaha sebisa mungkin menggunakan berbagai cara untuk membuat puisinya memiliki kesan yang menyenangkan.
            Salah satu cara yang digunakan penyair untuk menimbulkan kesan menyenangkan pada puisinya adalah dengan menggunakan ketidaklangsungan ekspresi puisi.  Ketidaklangsungan ekspresi puisi ini menurut Riffaterre  (dalam Pradopo, 1997: 210) merupakan konvensi tambahan puisi bahwa puisi itu menyatakan pengertian-pengertian atau hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal yang berarti lain. 
Tujuan penyair menggunakan ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah untuk menyembunyikan arti sesungguhnya untuk kemudian menjadi tantangan bagi pembaca.  Bagaimana pembaca menginterpretasi dan mengapresiasi puisi yang dibacanya menjadikan puisi itu memiliki fungsi mendidik dan tentunya bisa menjadi sarana hiburan tersendiri.  Ketidaklangsungan puisi juga seperti menjadi hal yang wajib ada dalam puisi, karena hampir semua puisi menggunakan ketidaklangsungan ekspresi. 
            Setiap penyair memiliki ciri khas atau gaya sendiri-sendiri dalam menggunakan ketidaklangsungan ekspresi.  Salah satu penyair yang sering menggunakan ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah Taufik Ismail.  Penyair yang banyak menulis puisi-puisi bernada sosial ini juga sudah menelurkan berbagai antologi puisi diantaranya : Tirani dan Benteng (1966) dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998). 
            Bertolak dari uraian di atas, maka dalam karya tulis ini penulis berusaha menganalisis dan mengulas ketidaklangsungan ekspresi puisi yang ada dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail yang terangkum dalam antologi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Alasan penulis memilih puisi-puisi karya Taufik Ismail sebagai bahan analisis adalah karena puisi-puisinya dianggap memiliki gaya bahasa dan penyampaian ekspresi yang menarik untuk dikaji. Nilai estetik yang terkandung dalam puisi-puisi Taufik Ismail juga merupakan daya tarik tersendiri baik untuk sekedar dinikmati atau bahakan juga untuk dikaji. Selain itu, nama besar Taufik Ismail sebagai sastrawan tenama di Indonesia juga mengundang perhatian penulis untuk mencoba menganalisis karya puisinya.

1.2  Rumusan masalah
            Rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain:
  1. Bagian puisi mana yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi puisi penggantian arti (displacing) yang ada dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail?
  2. Bagian puisi mana yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi puisi penyimpangan arti (distorting) yang ada dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail?
  3. Bagian puisi mana yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi puisi penciptaan arti (creating of meaning) yang ada dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail?

1.3  Batasan Masalah
Batasan masalah dalam suatu kajian atau analisis  sangatlah penting dalam menentukan arah tujuan penulisan.  Oleh karena itu penulis membatasi analisis dengan menggunakan pisau analisis berupa ketidaklangsungan ekspresi puisi.  Puisi yang dianalisis pun tidak merupakan keseluruhan puisi yang ada dalam antologi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, melainkan penulis memilih hanya lima puisi untuk dianalisis.

1.4  Tujuan
            Berdasarkan pemahaman di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan karya tulis ini antara lain:
  1. Memperoleh pengetahuan mengenai pengertian dan fungsi ketidaklangsungan ekspresi puisi.
  2. Memperoleh pengetahuan mengenai cara menganalisis ketidaklangsungan ekspresi puisi.
  3. Dapat menemukan dan menginterpretasi ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail.
  4. Dapat menemukan letak estetik ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi-puisi karya Taufik Ismail.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Pengantar
Landasan teoritik digunakan sebagai landasan kerja konseptual dan teoritis.  Pada bagian ini penulis memaparkan teori-teori ilmiah yang sudah ada dan relevan dengan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya.  Landasan teori dalam analisis ini membahas mengenai ketidaklangsungan ekspresi puisi yang meliputi 1)penggantian arti (displacing), 2) penyimpangan arti (distorsing) dan 3) penciptaan arti (creating of meaning).
Menurut Teeuw (dalam Pradopo, 1995:146) analisis struktural yang digabungakan dengan analisis semiotik disebut strukturalisme dinamik.  Hal ini untuk mengatasi keterbatasan strukturalisme murni yang perspektif tinjauannya sinkronis yang tak sepenuhnya dapat menangkap relevansi eksistensial (rangka sosial-budaya) dan makna historis.
Sastra (puisi) merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang merupakan sistem tanda tingkat kedua setelah bahasa.  Di dalamnya terdapat konvensi sastra sendiri yang disebut sebagai konvensi tambahan (tambahan di luar konvensi bahasa).  Salah satu dari konvensi tambahan itu adalah konvensi bahasa kiasan yang menyatakan pengertian-pengertian dan hal-hal secara tidak langsung.  Konvensi tambahan dalam sastra di antaranya konvensi bahasa kiasan, persajakan, pembagian bait, persajakan, bahkan juga enjabement (perloncatan baris) dan tipografi (susunan tulisan).  Dalam hal tipografi, lebih memanfaatkan bentuk visual untuk memberi arti atau makna tambahan.  Sebenarnya baik konvensi bahasa atau konvensi tambahan sama-sama memberikan makna dalam sebuah sajak.
Ketidaklangsungan pernyataan dalam puisi itu menurut Riffaterre dalam Pradopo (1995: 210) disebabkan oleh penggantian arti (displacing), penyimpangan arti (distorsing) dan penciptaan arti (creating of meaning).



2.2  Penggantian Arti
Penggantian arti merupakan penggunaan kata yang menggantikan arti sebenarnya.   Menurut Riffaterre (dalam Pradopo. 1987: 212) dalam hal ini penggantian arti menggunakan bahasa kiasan yang berarti tidak menurut arti sesunguhnya.  Bahasa kiasan itu diantaranya menggunakan majas-majas seperti perbandingan, metafora, personifikasi, sinekdoki dan lain sebagainya.
Contohnya terdapat pada penggalan puisi Chairil Anwar “Sajak Putih” (bait kedua, baris pertama) yang berbunyi : “Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba”.  Penggalan ini menggunakan bahasa kiasan atau majas personifikasi yang mengibaratkan sepi yang sedang bernyanyi.  Di sini, sepi menyanyi bukan diartikan sebagai sepi yang menyanyi, melainkan suasana sepi yang dirasakan oleh penyair ketika malam dimana saat khusuk berdoa.

2.3  Penyimpangan Arti
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995: 148) penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi ataupun nonsense.
2.3.1  Ambiguitas
Salah satu sifat karya sastra khususnya puisi adalah polyinterpretable yang artinya menimbulkan banyak penafsiran atau makna ganda.  Contohnya: ingin kupetik seribu kupu-kupu dari hatimu.  Ini dapat diartikan bahwa penyair (aku) ingin merebut hati si (mu) yang indahnya ibarat kupu-kupu. Dapat juga diartikan bahwa penyair (aku) ingin merebut hati si (mu) namun terlalu sulit karena hati si (mu) terlalu liar, berterbangan seperti kupu-kupu yang jumlahnya seribu.
       Ambiguitas biasa digunakan oleh penyair untuk memberikan kebebasan pada pembaca untuk mengartikan sendiri makna puisinya.  Sehingga, setiap kali dibaca oleh pembaca yang berlainan, maka akan menimbulkan makna-makna baru.
2.3.2  Kontradiksi
Kontradiksi disebut juga sebagai ironi, yaitu cara penyair menyampaikan maksud secara berlawanan.  Contoh: sekilas ia tersenyum menertawai kemiskinannya. Kata tersenyum dan menertawai di sini sangat berlawanan arti dengan kata kemiskinan. Kemiskinan biasanya diibaratkan dengan sesuatu yang menyedihkan atau suram, namun penyair menggambarkannya secara kontradiktif  menggunakan kata tersenyum dan menertawai.
2.3.3  Nonsense
Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih sehingga menjadi bentuk baru.  Contoh: sepisaupi, sepisaupa.  Dapat pula berupa pengulangan suku kata dalam satu kata.  Contoh: terkekeh-kekehkekehkeh.

2.4  Penciptaan Arti                     
Penciptaan arti terjadi bila dalam ruang teks diorganisasikan untuk membuat tanda-tanda yang di kuar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri (keseimbangan), rima, tipografi, enjabement dan sebagainya.  Contoh:
Elang yang gugur tergeletak
Elang yang tergugur terebah
Satu harapku pada anak
Ingatkan pulang pabila lelah
Dalam bait sajak itu terdapat simitri (keseimbangan) berupa persejajaran bentuk yang menimbulkan persejajaran arti: bahwa bagaimanapun hebatnya elang, sekali-kali ia gurur tergeletak dan terebah, begitu pula si anak akan lelah juga dan ingatlah akan pulang.



BAB III
METODE PENULISAN

3.1  Metode Kualitatif
Kirk dan Miller dalam Indtayanto (2010) mendefinisikan metode kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasanya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahanya. Karya tulis ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan pengamatan  pada puisi untuk kemudian dianalisis berdasarkan teori ketidaklangsungan ekspresi puisi.

3.2  Data
Data merupakan informasi atau bahan yang harus dicari dan dikumpulkan untuk menjawab permasalahan yang akan dikaji dalam suatu penulisan karya ilmiah. Data dalam karya tulis ini adalah lima buah puisi karya Taufik Ismail yang ada dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.

3.3  Sumber Data
Sumber data merupakan aspek yang sangat penting karena ketepatan memilih dan menentukan sumber data akan menentukan validitas data atau informasi yang disajikan. Ada pun data yang menjadi sumber dalam karya tulis ini dibagi menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer berasar dari buku antologi (kumpulan puisi) Malu (Aku) Jadi Orang Indoneisia karya Taufik Ismail. Sedangkan untuk sumber sekunder berasal dari buku-buku dan artikel-artikel dari internet yang memuat teori-teori yang relevan dengan pembahasan.

3.4  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan mengumpulkan bahan pustaka, membaca, memilah data, mencatat, mengidentifikasi dan memantapkan kebenaran data untuk kemudian digunakan sebagai bahan analisis.  Pengumpulan data dilakukan untuk menjaga kealamiahan data yang diperoleh. Dalam karya tulis ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka yaitu dengan mengumpulkan berbagai sumber pustaka seperti kumpulan puisi Taufik Ismail Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, serta pustaka-pustaka penunjang berupa teori-teori mengenai ketidaklangsungan ekspresi puisi.

3.5  Teknik Analisis
Teknik analisis data adalah proses mengatur urutan data dengan menggolongkannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Teknik analisis data yang digunakan dalam karya tulis ini antara lain dengan identifikasi, interpretasi, analisis dan pemberian kesimpulan.




BAB IV
PEMBAHASAN

4.1  Analisis Puisi “Seratus Juta”
Puisi ini menceritakan bagaimana sengsaranya kehidupan orang-orang miskin yang tidak mempunyai pekerjaan (pengangguran) dikarenakan sempitnya lapangan pekerjaan.  Taufik mengekspresikan jiwanya melalui puisi dengan kata-kata sederhana yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi sebagai pewarna yang memperindah karyanya.
Ketidaklangsungan ekspresi sudah dapat dilihat pada baris pertama puisi: Ummat miskin dan penganggur berdiri hari ini.  Kata berdiri mengandung penggantian arti dari hidup atau kehidupan, sedangkan hari ini menggantikan arti dari sekarang.  Di sini, digambarkan umat atau kaum miskin dan pengangguran yang hidup di masa sekarang. 
Baris kedua: Seratus juta banyaknya, tampakkah olehmu wajah mereka. Saking banyaknya umat miskin dan pengangguran yang ada, penyair mengibaratkan jumlahnya seratus juta untuk menggantikan jumlah sesungguhnya.  Kemudian penyair bertanya tampakkah olehmu wajah mereka. Maksudnya adalah dengan jumlah yang demikian banyak ini, wajah-wajah umat miskin dan pengangguran itu sampai sulit untuk dikenali satu per satu.
Baris ketiga: Di tengah mereka tak tahu aku akan berbuat apa.  Baris ini mengandung penyimpangan arti, khususnya ambiguitas.  Interpretasi pertama adalah si aku tidak tahu apa yang akan dilakukan mereka (umat miskin dan pengangguran) di tengah-tengah kehidupan.  Sedangkan interpretasi kedua adalah si aku tidak tahu harus berbuat apa ketika berada di tengah-tengah mereka (umat miskin dan pengangguran).
Ambiguitas kembali muncul pada baris keempat: Kini kutundukkan kepala, karena. Kutundukkan kepala bisa berarti si penyair sedih dan merenung, melihat keadaan seperti ini yang dianggapnya merupakan sesuatu yang luar biasa sperti yang ada pada baris kelima Ada sesuatu besar luar biasa. Namun dapat pula berarti bahwa penyair tak kuasa menahan malu karena melihat keadaan yang memprihatinkan sehingga ia hanya bisa menundukkan kepala.
Penciptaan arti tercipta dari baris kelima dan keenam: Ada sesuatu besar luar biasa/Hilang terasa dari rongga dada. Rima akhir yang dibentuk menimbulkan kesan paralel yang memberi arti baru bahwa sesuatu yang besar (masalah kemiskinan dan pengangguran) terasa hilang dari rongga dada yang sudah sesak.  Sehingga penyair merasakan kehampaan dalam batinnya.
Penciptaan arti juga terdapat dalam baris ke-7 dan ke-8: Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja berdiri di sini/Saudara kita yang sempit rezeki, terbungkuk hari ini. Persejajaran bentuk ini menimbulkan persejajaran arti: bahwa saudaraku (kaum miskin dan pengangguran) sama-sama memiliki nasib yang menyedihkan karena tidak bisa mencari nafkah dan tidak mendapatkan rezeki sehingga sekarang ini hanya bisa terbungkuk (tidak bisa berbuat apa-apa), padahal mereka harus menghidupi anak dan isteri.
Nampaknya bahasa kias selalu mengiringi isi puisi.  Penyair menggunakan majas hiperbola seperti pada baris ke-9 sampai ke-14: Di belakang mereka tegak anak dan isteri, berjuta-juta/Beratus ribu saf berjejer susunannya/Sampai ke kakilangit khatulistiwa/Tak ada lagi tempat tersedia/Di kantor, pabrik dan toko bagi mereka/Dan jadi semestalah ini sengsara. Di sini penyair melebih-lebihkan jumlah untuk menyemai kesan bahwa angka kemiskinan dan pengangguran sudah terlampau banyak dengan menggunakan kata-kata: berjuta-juta, berates ribu saf, sampai ke kaki langit, dan semesta.  Penyair ingin menlukiskan betapa banyaknya orang miskin dan pengangguran yang tidak memiliki perkerjaan karena sudah tidak ada lagi tempat yang tersedia baik di kantor, pabrik maupun toko.  Keadaan seperti ini membuat kehidupan menjadi sengsara.
Pada baris ke-14 sampai ke-16: Anak-anak tercerabut dari pendidikan/Penyakit dan obat, sejarak dengan utara dan selatan/Cicilan kredit terlantar berantakan. Tiga baris ini menggambarkan akibat dari makin banyaknya angka kemiskinan oleh adanya pengangguran. Terdapat penggantian arti menggunakan majas simile atau perbandingan sesuatu yang dianggap sama dengan hal lain yaitu pada Penyakit dan obat, sejarak dengan utara dan selatan (baris ke-15).  Maksudnya adalah bagi orang miskin yang sakit, sulit sekali untuk mendapatkan pengobatan.  Pada baris ke-15 ini juga dapat dikatakan mengandung kontradiksi, yaitu seluruh rakyat seharusnya bisa mendapatkan pengobatan dengan mudah dan murah namun kenyataannya tidak bagi orang miskin.  Pengobatan hanya untuk orang-orang yang punya uang.
Selanjutnya, pada baris ke-18 dan ke-19: Bilakah gerangan terbuka gerbang pekerjaan/Suram, suramnya langit keadaan/Nestapa, nestapanya cuaca bangsa. Kata-kata yang digarisbawahi mengandung penggantian arti.  Gerbang pekerjaan dapat berarti sebagai lapangan atau lowongan pekerjaan. Langit keadaan dan cuaca bangsa yaitu kondisi bangsa yang berubah-ubah.  Penggalan baris ini menceritakan betapa suramnya keadaan orang-orang miskin yang tidak memiliki pekerjaan karena tak ada lowongan bagi mereka.
Baris ke-21 sampai ke-23 berisi pengulangan yang menimbulkan penciptaan arti yakni untuk menekankan kembali perasaan penyair yang sudah dijelaskan seperti apa yang ada di baris ke-4 sampai ke-6.  Terakhir, penyair membuat bait baru (bait ke-2) yang berisi: Saudaraku/Kita mesti berbuat sesuatu/Betapa pun sukarnya itu. Saudaraku di sini dapat dikatakan ambigu karena dapat berarti ditujukan oleh pengarang kepada orang yang tidak termasuk golongan miskin dan pengangguran atau ditujukan kepada orang-orang miskin dan pengangguran. Intinya, penyair mengajak untuk berbuat sesuatu demi keluar dari permasalahan kemiskinan dan pengangguran meskipun hal itu sangat sulit dilakukan.

4.2  Analisis Puisi “Syair Empat Kartu di Tangan”
Syair Empat Kartu di Tangan merupakan puisi bernada ironi yang menceritakan tentang keserakahan.  Dalam puisi ini banyak sekali ditemukan ketidaklangsungan ekspresi. Hal ini sudah nampak hanya ketika membaca judul.  Empat kartu merupakan simbol yang menggantikan arti sebenarnya yaitu  empat hal rahasia yang menjadi dasar acuan atau kunci si aku (lirik) dalam menjalani hidup.
Bait pertama:  Ini bicara blak-blakan, bang/ Buka kartu tampak tampang / Sehingga semua jelas membayang / Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang. Baris kedua pada buka kartu merupakan kiasan atau penggantian arti dari terungkapnya sebuah rahasia sehingga tampak tampang.  Maksudnya adalah terungkapnya rahasia membuat tampang (keadaan sesungguhnya) menjadi tampak.  Maka dengan terungkapnya rahasia ini, jelaslah segala yang ditutupi bahwa sesungguhnya  monoloyalitas atau yang dalam KBBI berarti kesetiaan tunggal kami ada pada uang. Apa pun yang dipikirkan kami selalu mengerucut pada yang namanya uang.
Penciptaan arti jelas terlihat pada bait pertama yang penuh dengan keseimbangan (simitri), baik dalam hal rima akhirnya, baris-baris dalam baitnya, maupun antara bait satu dengan bait lainnya.  Baris-baris dan bait-bait ini merupakan paralelisme yang tersusun rapi.  Begitu pula halnya dengan keseimbangan tipografinya.  Hal ini dapat menimbulkan penciptakan arti baru karena dari kesejajaran atau keseimbangan timbullah orkestrasi (bunyi musik) dan irama yang menyebabkan kesan liris. Makna baru yang muncul oleh kesejajaran dan keparalelan ini adalah bahwa terbukanya rahasia menyebabkan keburukan berupa monoloyalitas pada uang  yang ada di dalamnya terlihat jelas.
Pada bait kedua, baris pertama: Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara, penyair mulai menggunakan penyimpangan arti berupa nonsense yaitu ka-bukaan.  Di sini, terdapat pengulangan suku kata dalam satu kata. Selain itu, pada baris ketiga sehingga buat apa basi dan basa, penyair mempermainkan struktur kalimat dan menggunakan penggantian arti pada basi dan basaBasi dan basa menggantikan arti dari segala sesuatu yang dilakukan dengan bertele-tele atau tidak langsung merujuk pada perbuatan yang dituju. Kemudian pada baris keempat: Sila kami Keuangan yang Maha Esa. Jika diperhatikan, penyair mengadopsi kalimat dari salah satu isi pancasila (sila pertama) dengan mengganti kata ketuhanan menjadi keuangan.
Lanjut pada bait ketiga Jangan sungkan buat apa yah-payah/Analisa psikis toh cuma kuasi ilmiah/Tak usahlah sah-susah/Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah.  Penyair kembali menggunakan penyimpangan arti nonsense pada yah-payah. Selanjutnya pada baris kedua Analisa psikis toh cuma kuasi ilmiah. Analisa psikis menggantikan arti sebenarnya yaitu tes psikologi yang biasa digunakan pada tes-tes masuk sekolah maupun tes masuk kerja.  Kuasi ilmiah mewakili arti sebenarnya sebuah prosedur dan formalitas. Ada pula ideologi rupiah yang  menggantikan arti atau makna  sebenarnya.  Ideologi merupakan dasar pemikiran atau pandangan, sedangkan rupiah adalah nama mata uang Indonesia.  Frasa ideologi rupiah berarti pandangan atau dasar pemikiran si aku (lirik) adalah uang yang dalam hal ini dapat dikaitkan dengan materi.  Si aku selalu melakukan seusatu dengan berorientasi pada materi.  Oleh karena penyair menggunakan kata rupiah yang menjadi mata uang Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa si aku merupakan orang Indonesia.
 Jadi apabila disatukan, maka pengantian arti yang digunakan penyair dalam puisi ini memiliki makna bahwa tes-tes psikologi yang dilakukan selama ini dalam menerima siswa ataupun pekerja hanya merupakan prosedur demi formalitas belaka.  Sedangkan yang menjadi pertimbangan sebenarnya hanyalah uang atau materi.  Istilahnya adalah siapa yang punya uang maka ia berkuasa.  Seseorang yang memiliki harta lebih bisa masuk sekolah atau kerja dengan uang tanpa harus bersusah payah memenuhi persyaratan.
Penggantian arti kembali muncul pada bait ke-4 (baris pertama): Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan. Kata yang menjadi kiasan adalah dadaku.  Dada diibaratkan sebagai tempat hati nurani, di mana seseorang menentukan pilihan setelah melalui pertimbangan pemikiran.  Baris ke-2: Setiap jeroan berjajar keliatan.  Jeroan yang mengandung arti isi perut menjadi kiasan dari segala seuatu yang ada dalam dada (hati), lalu mengalagi pembedahan.  Secara keseluruhan bait yang baris satu sama lainnya saling berkaitan, maka penggantian arti dapat lebih mudah diidentifikasi. 
Lebih dari yang telah dijabarkan di atas, selain banyaknya penggantian arti yang mendominasi puisi, terdapat pula penciptaan arti.  Penciptaan arti dapat dilihat dari simitri (keseimbangan) rima, jumlah (bait dan baris) dan tipografi. Pada rima, di setiap akhir baris dalam satu bait menggunakan rima akhir yang sama. Puisi ini juga mengandung empat bait yang masing-masing bait mengandung empat baris.  Jumlah ini sesuai dengan judulnya Syair Empat Kartu di Tangan.  Hal ini dapat menciptakan arti baru berupa penguatan bahwa si penyair benar-benar memiliki empat kartu (rahasia) yang menjadi pegangan atau pandangan dalam hidupnya.  Selain itu dapat pula dilihat dari segi tipografinya.  Keseimbangan tadi berpengaruh pada keselarasan tipografi yang tampak datar namun menciptakan arti bahwa antara empat kartu yang semuanya merujuk pada uang (materi) dan semua itu berada pada tataran yang sama dalam dasar pemikiran subjek dalam puisi.

4.3  Analisis Puisi “Miskin Desa, Miskin Kota”
            Metafora pada puisi ini sangat kental.  Penyair sering sekali mempersamakan atau membandingkan satu hal dengan hal lain. Bait pertama (baris pertama): Kakekmu di zaman Jepang kena kudis dan beri-beri.  Penyair menggunakan kata Kakekmu dipersamakan untuk menggantikan arti dari nenek moyang atau orang-orang yang hidup di zaman penjajahan Jepang.  Selanjutnya ada penyimpangan arti berupa ambiguitas pada baris kedua: Bengkak di kaki, kelaparan dan matiBengkak di kaki dapat diartikan kaki bengkak karena penyakit atau kaki bengkak yang disebabkan kerja paksa yang dialami.
            Bait ke-2: Beribu kami mengais/Beribu pula mengemis. Terdapat penggantian arti berupa hiperbola yang melebih-lebihkan jumlah, yaitu beribuMengais juga mewakili arti sebenarnya yaitu sesuatu yang sangat dibutuhkan (bisa jadi sandang, pangan dan papan) yang tidak dapat dimiliki karena jumlahnya terbatas, sehingga kami harus seolah-olah mengais untuk dapat memilikinya.  Selain mengais yang ada, kami juga mengemis untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.  Arti mengemis di sini dapat disejajarkan dengan meminta-minta.
            Bait ke-3: Keluarga kita di zaman PKI makan bulgur kuda/Panen sedesa dilindas cuaca dan hama/Bu-likmu, misanmu, semuanya mati muda. Penyair lagi-lagi menyelipkan penggantian arti di dalam puisi ini.  Keluarga menjadi kiasan dari orang-orang atau penduduk Indonesia yang hidup di zaman penjajahan Jepang.  Bulgur kuda dalam arti sebenarnya adalah makanan kuda yang berupa rumput.  Bulgur kuda mewakili arti begitu parahnya keadaan saat dulu sehingga rakyat Indonesia hanya bisa makan makanan yang tidak layak.  Keadaan seperti itu diperparah lagi dengan kegagalan panen sedesa akibat dilindas atau disebabkan oleh cuaca buruk dan merebaknya hama.
            Bait ke-5: Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan/Negeri rubuh, kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan/Sesabar-sabar makhluk makan angan-angan/Jam berdetak, angin lewat di atas tungku penjerangan/Di halaman depan menanti keranda ke kuburan.  Penyair begitu sering menggunakan penggantian arti dalam puisi ini.  Baris pertama misalnya Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan. Maksud ditebas adalah dilanda.  Negeri rubuh menganalogikan keadaan negeri yang sangat buruk akibat penjajahan. Pada kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan, dapur berarti bahwa keadaan segala yang berhubungan dengan logistik pada waktu itu benar-benar kacau.  Makan angan-angan berarti orang-orang pada zaman itu tidak bisa memakan makanan yang layak, karena makanan yang layak tidak tersedia bagi mereka.  Mereka hanya berkhayal untuk bisa memakan makanan yang layak.  Kemudia jam berdetak mewakili arti dari waktu yang terus berjalan, sedangkan angin berarti kekosongan atau ketiadaan dan  tungku penjerangan berarti tempat memasak.  Jika baris ke-4 digabungkan maka penggantian arti jadi lebih mudah dipahami, yaitu seiring berjalannya waktu namun tetap saja tidak ada yang bisa dimasak untuk di makan.  Baris terakhir, kuburan merupakan pengganti dari arti sebenarnya yaitu kematian.
            Puisi Miskin Desa, Miskin Kota ini  memiliki tipografi yang tidak beraturan dan disusun tidak rata.  Di sini muncul penciptaan arti di luar ketatabahasaan yang mendukung suasana ketidakkodusifan keadaan yang digambarkan dalam puisi sehingga menambah kesan keadaan yang kacau dengan kemiskinan yang merebak bukan hanya di desa tapi juga di desa.

4.4  Analisis Puisi “Air Kopi Menyiram Hutan”
            Puisi Air Kopi Menyiram Hutan yang bersifat naratif ini lebih banyak menggunakan kata-kata langsung  daripada kata-kata tidak langsung dalam mengekspresikan maksud penyair.  Puisi ini menceritakan bagaimana sebuah berita besar seperti kebakaran hutan dimuat dalam koran.  Berikut analisa ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Air Kopi Menyiram Hutan.
            Saat membaca judul, mungkin pembaca masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud oleh penyair.  Namun, setelah membaca isi pembaca dapat mengerti baik sebagian maupun keseluruhan isi puisi.  Ini dikarenakan pada judul saja penyair sudah menggunakan ketidaklangsungan ekspresi puisi.
            Tiga juta hektar/Halaman surat kabar/telah dirayapi api/Terbit pagi ini. Ketidaklangsungan ekspresi puisi (penggantian arti) di sini sangat terasa, karena jika diartikan secara langsung, kutipan puisi ini tidak masuk akal.  Tidak mungkin halaman surat kabar bisa mencapai luas tiga juta hektar.  Namun yang dimaksudkan penyair di sini adalah bahwa ada berita di dalam sebuah surat kabar atau koran yang mengabarkan bahwa telah terjadi kebakaran (dirayapi api).  Hal ini dijelaskan lagi dengan Panjang empat jari/Dua kolom tegak lurus yang mewakili arti dari seberapa panjang berita tentang kebakaran yang dimuat.
Puisi ini terdiri dari satu bait dengan jumlah baris tiga puluh satu. Puisi ini berkesan datar jika dilihat dari segi simitri dan tipografinya.  Hal ini dapat berarti bahwa kejadian yang dilukiskan dalam puisi ini memang dikesankan datar oleh penyair.  Datar dimaksudkan menciptakan arti baru  bahwa memang kejadian besar seperti kebakaran hutan yang menjadi berita besar dalam koran sering kali tidak digubris atau dipedulikan oleh pembacanya, atau dengan kata lain hanya dianggap seperti angin lalu belaka.  Ini terbukti dengan setelah kopi menumpahi koran, maka sang pemilik Koran hanya melipat Koran itu dan membuangnya tanpa memikirkan berita yang ada di koran itu. 
4.5  Analisis Puisi “Kuitansi”
            Puisi ini menceritakan tentang kebingungan si aku (lirik) dalam menentukan pilihan.  Ketidaklangsungan ekspresi puisi ditemukan pada beberapa bagian puisi seperti pada bait pertama, baris ke-2 yaitu Dua hektar luasnya yang secara tidak langsung memberikan pengertian yang ambigu. Dua hektar, jika diartikan langsung menjadi luas kuitansi dan dapat diartikan lain yaitu sebagai luas sebuah tanah yang menjadi nilai dalam kuitansi.Pada bait pertama, baris ke-4 dan ke-5: Tak tahu aku cara/menandatanganinya. Maksud dari menandatanginya secara tidak langsung mengungkapkan persetujuan.
            Pada bait ke-2: Sebuah kuitansi/Berbentuk bom waktu/Bila kuteken hari ini /Akan meledak dua dasawarsa/Dan mencencang anak cucuku/Tak tahu aku cara/Menandatanganinya.  Metafora bom waktu muncul pada baris ke-2.  Bom waktu dinyatakan seharga dengan sesuatu yang akan meledak dalam hitungan waktu. Lalu penyair menegaskan bahwa bom waktu itu akan meledak.  Sesunguhnya yang meledak bukanlah bom atom, namun yang dimaksud adalah akibat dari apabila si aku menandatangani atau menyetujui isi kuitansi itu.  Meledak bisa jadi adalah kejadian luar biasa yang akan mencencang atau menghancurkan masa depan anak cucu, yang dalam al ini mewakili arti dari keturunan si aku.
            Lanjut pada bait ke-3: Selembar kuitansi/Seluas langit/Biru jernih di atas sana/Tak tergapai/Dalam jangkauan tak sampai/Tak tahu aku cara/MenandatanganinyaSeluas langit merupakan metafora dari sesuatu yang begitu luas sehingga dinyatakan sama dengan luasnya langit. Si aku harus benar-benar mempertimbangkan keputusan untuk menyetujui atau tidak isi kuitansi yang sangat berharga dan bahkan mungkin tak tergapai.  Namun, ia masih saja bingung bagaimana menentukan pilihan (bagaimana cara menandatanganinya).
            Bait ke-4: Sebuah kuitansi/Berbentuk lipatan kain kafan/Berwarna perak berkilauan/Dengan jari bergetaran/Di bagian bawah di sudut kanan/Tandatanganku/kugoreskanKain kafan bukan diartikan sebagai kain kafan sebenarnya, namun menggantikan arti dari kematian atau sesuatu yang suram dan mengantarkan pada keberakhiran.  Perak berkilauan menggantikan arti dari sesuatu yang menggiurkan atau memukau. Jari bergetaran, maksudnya adalah kegugupan yang dialami si aku hingga akhirnya ia mengambi keputusan untuk menyetujui isi kuitansi yang diwakili oleh Di bagian bawah di sudut kanan/Tandatanganku/kugoreskan.



BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
            Ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah salah satu cara yang digunakan penyair untuk menimbulkan kesan menyenangkan pada puisinya.  Ketidaklangsungan ini dapat berupa pengantian arti, penyimpangan arti (ambiguitas, kontradiksi, nonsense) dan penciptaan arti.  Tujuan penyair menggunakan ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah untuk menyembunyikan arti sesungguhnya untuk kemudian menjadi tantangan bagi pembaca. 
            Setiap penyair memiliki ciri khas atau gaya sendiri-sendiri dalam menggunakan ketidaklangsungan ekspresi dalam puisinya.  Salah satu penyair yang banyak menggunakan ketidaklangsungan ekspresi puisi adalah Taufik Ismail.  Dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail, penulis telah menguraikan analisis ketidaklangsungan ekspresi puisi yangterkandung di dalam lima puisi dengan masing-masing judul: Seratus Juta; Syair Empat Kartu di Tangan; Miskin Desa, Miskin Kota; Air Kopi Menyiram Koran; dan Kuitansi. Di antara ragam jenis ketidaklangsungan ekspresi puisi, dalam kelima puisi yang dianalisis, penggantian artilah yang paling banyak muncul jika dibandingkan dengan penyimpangan arti maupun penciptaan arti.

4.2  Saran
            Ketidaklangsungan ekspresi memang seperti menjadi hal yang wajib ada dalam puisi.  Hal ini bukan semata-mata untuk memberikan kesan estetik pada puisi, namun juga mengandung unsur mendidik pembaca.  Namun alangkah baiknya apabila sebagai pembaca, tidak hanya terus-menerus bentindak sebagai konsumen atau penikmat puisi karya orang lain.  Terlebih dengan seringnya membaca puisi karya-karya penyair terkenal seperti Taufik Ismail ini, setidaknya pembaca mendapat pengetahuan lebih dan dimungkinkan mendapat inspirasi untuk ikut berkarya.  Dalam berkarya nantinya, ketidaklangsungan ekspresi puisi dapat dipakai sebagai sarana menyampaikan maksud di dalam puisi secara halus, berseni dan mendidik.


DAFTAR RUJUKAN

Ismail, Taufik. 1998. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: PT Inter Masa.
Pradopo, R.D. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, R.D.  1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Indrayanto. 2010. “Pengertian Metode Kualitatif”. (online) http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2027031-pengertian-metode-kualitatif/. Diakses 13 Juni 2012.



LAMPIRAN
Seratus Juta
Ummat miskin dan penganggur berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya, tampakkah olehmu wajah mereka
Di tengah mereka tak tahu aku akan berbuat apa
Kini kutundukan kepala, karena
Ada sesuatu besar luar biasa
Hilang terasa dari rongga dada
Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja berdiri di sini
Saudara kita yang sempit rezeki, terbungkuk hari ini
Di belakang mereka tegak anak dan isteri, berjuta-juta
Beratus ribu saf berjejer susunannya
Sampai ke kakilangit khatulistiwa
Tak ada lagi tempat tersedia
Di kantor, pabrik dan toko bagi mereka
Dan jadi semestalah ini sengsara
Anak-anak tercerabut dari pendidikan
Penyakit dan obat, sejarak dengan utara dan selatan
Cicilan kredit terlantar berantakan
Bilakah gerangan terbuka gerbang pekerjaan
Suram, suramnya langit keadaan
Nestapa, nestapanya cuaca bangsa
Kini kutundukkan kepala, karena
Ada sesuatu besar luar biasa
Hilang terasa dari rongga dada

Saudaraku
Kita mesti berbuat sesuatu
Betapa pun sukarnya itu.
(Ismail, Taufik. 1998:5)
Syair Empat Kartu di Tangan
Ini bicara blak-blakan, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehingga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang

Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Seingga buat apa basi dan basa
Sila kami Keuangan Yang Maha Esa

Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kuasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah

Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar keliatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku memang keserakahan

(Ismail, Taufik.1998: 28)

Miskin Desa, Miskin Kota
Kakekmu di zaman Jepang kena kudis dan beri-beri
Bengkak di kaki, kelaparan dan mati
                        Beribu kami mengais
                        Beribu pula mengemis

Keluarga kita di zaman PKI makan bulgur kuda
Panen sedesa dilindas cuaca dan hama
Bu-likmu, misanmu, semuanya mati muda
                        Berpuluh ribu kami mengais
                        berpuluh ribu pula mengemis
Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan
Negeri rubuh, kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan
Sesabar-sabar makhluk makan angan-angan
Jam berdetak, angina lewat di atas tungku penjerangan
Di halaman depan menanti keranda ke kuburan
                        Tak terhitung kami mengais
                        tak terhitung pula yang mengemis

(Ismail, Taufik. 1998: 68)

Air Kopi Menyiram Hutan
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pick-ap
Subuh dar percetakan
Ditumpuk di tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Ramut isteri kekusutan
Empat anak berseliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Api padam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan

(Ismail, Taufik. 1998: 134)

Kuitansi
Selembar kuitansi
Dua hektar luasnya
Terbentang di hadapanku
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya

Sebuah kuitansi
Berbentuk bom waktu
Bila kuteken hari ini
Akan meledak dua dasawarsa
Dan mencencang anak cucuku
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya

Selembar kuitansi
Seluas langit
Biru jernih di atas sana
Tak tergapai
Dalam jangkauan tak sampai
Tak tahu aku cara
Menandatanganinya

Sebuah kuitansi
Berbentuk lipatan kain kafan
Berwarna perak berkilauan
Dengan jari bergetaran
Di bagian bawah di sudut kanan
Tandatanganku
kugoreskan

(Ismail, Taufik. 1998: 152)




3 komentar: