Rabu, 26 Desember 2012

POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL BERDASARKAN HIPOTESIS TABULARASA


Abstrak: Pola akuisisi atau pemerolehan bahasa pada manusia normal tentunya berbeda dengan manusia yang mengalami gangguan berbahasa atau afasia. Afasia sendiri memiliki berbagai macam jenis yang salah satunya adalah afasia motorik kortikal. Penderitanya kehilangan kemampuan mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Pola akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik kortikal ini akan dihubungkan dengan salah satu hipotesis pemerolehan bahasa yaitu hipotesis tabularasa. Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia yang baru lahir diibaratkan seperti kertas kosong.

Kata Kunci : akuisisi bahasa, afasia motorik kortikal, hipotesis tabularasa.


1. LATAR BELAKANG
Sungguh merupakan keagungan Tuhan yang tiada terkira. Dia yang menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.  Sebagai makhluk yang sempurna, manusia telah dibekali berbagai kemampuan sejak dari ia dilahirkan.  Salah satu kemampuan manusia yang membedakan dan menjadi keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain ialah kemampuan berbahasa. Dengan kemampuan itulah, sejak kecil manusia belajar memahami dan mengucapkan kata-kata.
Akuisisi atau pemerolehan bahasa pada manusia normal merupakan pembahasan yang menarik terkait dengan ranah ilmu kebahasaan. Namun akan lebih menarik lagi apabila yang dibahas adalah mengenai akuisisi pada manusia yang mengalami gangguan berbahasa atau yang dalam istilah ilmiah disebut afasia.  Akuisisi bahasa pada penderita afasia tentunya berbeda dengan akuisisi bahasa pada manusia normal. Penderita afasia memiliki pola akuisisi sendiri sesuai dengan tingkat kerusakan bagaian otak yang mengatur fungsi kebahasaan.
      Artikel ini khusus membahas mengenai pola akuisisi bahasa yang ada pada penderita salah satu dari jenis afasia (afasia motorik kortikal), dimana nantinya akan dijabarkan lebih lanjut.  Selain itu, untuk memperkaya khazanah sekaligus memperkuat dasar penulisan artikel ini, maka penulis menghubungkan dengan salah satu  dari beberapa hipotesis pemerolehan bahasa yaitu hipotetis tabularasa.  Keterkaitan antara pola akuisisi bahasa, afasia motorik kortikal dan hipotesis tabularasa seperti yang telah dikemukakan, akhirnya menarik perhatian penulis untuk membuat artikel dengan judul “Pola Akuisisi Bahasa pada Penderita Afasia Motorik Kortikal Berdasarkan Hipotesis Tabularasa”.

2. POLA AKUISISI BAHASA
Istilah akuisisi atau yang dalam bahasa Inggris disebut acquisition merupakan padanan dari istilah pemerolehan. Pemerolehan yang dimaksud yakni proses penugasan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (Dardjowijojo, 2005: 225). Pemerolehan bahasa (language acquisition) sering kali disamakan dengan dengan pembelajaran bahasa (learning acquisition). Namun yang membedakan adalah jika pada akuisisi bahasa, anak mengalami proses di dalam otaknya untuk belajar menguasai bahasa ibunya (native language/bahasa pertama/B1), maka pada pembelajaran bahasa anak mengalami proses belajar menguasai suatu bahasa yang secara formal (diajari) di dalam kelas.  Pembelajaran bahasa berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua atau B2.
Manusia yang sedang memperoleh bahasa mengalami dua buah proses yakni proses kompetensi dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Senada dengan itu, Shinta (2010) membagi proses kompetensi menjadi (1) proses pemahaman, yaitu kemampuan atau kepandaian mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar dan (2) proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat baru, yaitu kemampuan mengeluarkan atau memproduksi kalimat-kalimat sendiri. Proses penerbitan ini selanjutnya diteruskan pada proses performansi yang  dalam linguistik transformasi generatif disebut juga perlakuan atau pelaksanaan bahasa. Kedua proses ini berlainan, namun saling berkaitan karena proses kompetensi merupakan syarat terjadinya proses performansi.  Anak yang telah menguasai kedua proses ini dikatakan memiliki kemampuan linguistik.

3. AFASIA MOTORIK KORTIKAL
Kerusakan otak di hemisfer kiri daerah pusat berbahasa (speech area) pada seseorang yang cekat tangan kanan (rightander) dapat menimbulkan gangguan berbahasa yang dinamakan afasia (Yelia, 2012). Lebih lanjutnya Yelia menjelaskan bahwa afasia merupakan gangguan penggunaan bahasa baik lisan maupun tulis. Afasia dapat mengenai modalitas bahasa yang terdiri dari percakapan (spontaneus speech), pemahaman bahasa lisan (comprehension of spoken language), pengulangan (repetition of spoken language), penamaan (confrontation naming), membaca dan menulis.
            Pada penderita afasia, tidak tentu semua modalitas bahasanya terganggu. Ada dua pola afasia yaitu afasia sensorik dan afasia motorik. Namun yang akan dibahas dalam artikel ini dikhususkan pada afasia motorik yang merupakan akibat dari terganggunya neuron (saraf) motorik. Neuron motorik berfungsi suntuk meneruskan impuls dari sistem saraf pusat ke otot dan kelenjar yang akan melakukan respon tubuh (Lestari, 2009: 290). Afasia motorik berkenaan dengan terganggunya area berbahasa yang berhubungan dengan lobus frontal, lobus temporal, dan lobus pariental di otak bagian Broca. Area ini terletak di belahan otak kiri yang merupakan tempat kemampuan untuk menghasilkan bahasa. Afasia motorik sendiri dibedakan menjadi menjadi beberapa macam dan salah satunya adalah afasia motorik kortikal.
Purwo (1989: 173) menjelaskan afasia motorik kortikal sebagai salah satu jenis gangguan berbahasa dimana pederitanya kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan.  Penderita afasia motorik kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan, namun sama sekali tidak bisa menggunakan ekspresi verbal.  Meskipun begitu, ia masih bisa menggunakan ekspresi visual yaitu melalui bahasa tulis dan bahasa isyarat. 
Penyebab afasia pada umumnya atau lebih khususnya pada afasia motorik kortikal dapat berupa terjadinya lesi pada area penghasil ujaran pada otak yaitu broca. Penyebab lainnya seperti yang dikemukakan oleh Prameswari (2011) antara lain stroke, traumatis dan cedera otak. Ini sependapat dengan Welly (2012), menurutnya afasia terjadi ketika terjadinya serangan stroke yang membuat gangguan bahasa dan komunikasi pada otak.   .Afasia ini berkembang secara perlahan-lahan, seperti dalam kasus tumor otak atau progresif penyakit saraf  misalnya penyakit alzheimer atau parkinson. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh pendarahan tiba-tiba yang terjadi  di dalam otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang jarang dari fentanyl, yaitu suatu opioid yang digunakan untuk mengontrol rasa sakit kepala kronis.
Gejala-gejala afasia motorik kortikal antara lain sebagai berikut (1) ketidakmampuan mengucapkan, bukan karena kelumpuhan atau kelemahan otot; (2) ketidakmampuan untuk berbicara spontan; (3) ketidakmampuan untuk membentuk kata-kata; (4) ketidakmampuan untuk menyebut nama objek; dan (5) terbatasnya perilaku verbal. Adapun penanganan pada penderita afasia motorik kortikal antara lain dengan perawatan selama beberapa periode di rumah sakit. Penanganan afasia pada umumnya hampir selalu diteruskan ke ahli logopedia atau orang yang alhi dalam bidang komunikasi.

4.    POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL
Clark dalam (Indah, 2008: 50) melansir bahwa, fungsi bahasa yang paling utama sejak orang belajar bahasa adalah untuk komunikasi. Belajar bahasa yang dimaksud di sini adalah belajar bahasa pertama atau pemerolehan bahasa pertama. Komunikasi dengan bahasa dibedakan menjadi dua macam aktivitas manusia yang mendasar, yaitu berbicara dan mendengarkan. Kegiatan komunikasi akan berjalan lancar apabila tidak ada gangguan, khususnya gangguan berbahasa seperti afasia motorik kortikal.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasanya penderita afasia motorik kortikal mengalami kerusakan atau cidera pada otak bagian broca sehingga kehilangan kemampuan dalam mengungkapkan isi pikiran melalui perkataan atau ekspresi verbal.  Namun ia masih bisa menggunakan ekspresi visual seperti isyarat dan menulis untuk mengungkapkan pikiran. Jika dihubungkan dengan pola akuisisi seperti dalam proses kompetensi dan performansi, tentunya akan berbeda dengan pola akuisisi pada manusia normal. Namun perlu diingat bahwa seseorang yang menderita afasia secara umum memiliki kapasitas intelektual yang penuh.
Proses kompetensi terdiri atas proses pemahaman dan penerbitan. Dalam proses pemahaman atau memamahi informasi yang didengar, penderita afasia motorik kortikal tidak mengalami gangguan sehingga ia tetap dapat memahami suatu ujaran. Begitu pula  halnya dalam proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat sendiri, penderita tidak akan mengalami kesulitan.
Proses kompetensi merupakan pijakan bagi proses performansi atau proses pelaksanaan tindak ujaran.  Proses kompetensi pada pendeita afasia motorik kortikal memang tidak terganggu, namun pada proses performansi atau tindak ujar (ekspresi verbal) ia sama sekali tidak dapat melakukan. Broca tidak mampu  memproses dan menghasilkan tindak ujaran. Ketika berkomunikasi, penderita afasia motorik kortikal  nampak seperti orang bisu yang mengungkapkan isi pikiran melalui isyarat atau tulisan sebagai bentuk performansinya dalam mengekspresikan atau mengutarakan isi pikiran.

5.    HIPOTESIS TABULARASA
Dalam proses akuisisi atau pemerolehan bahasa, dikenal tiga macam hipotesis yaitu hipotesis nurani, hipotesis tabularasa dan hipotesis kesemestaan kognitif.  Namun, dalam artikel ini hanya akan membahas salah satunya saja yaitu hipotesis tabularasa.
Tabularasa secara harfiah berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum ditulis apa-apa (Chaer, 2009: 172). Hipotesis yang pertama kali dikenalkan oleh tokoh empirisme bernama John Locke ini mengatakan bahwa otak bayi yang baru lahir bagaikan kertas kosong yang nantinya akan diisi dengan pengalaman-pengalaman yang didapatnya. Lebih lanjut Chaer menjelaskan, menurut hipotesis tabularasa semua pengetahuan bahasa manusia yang nampak dalam perilaku berbahasa merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia.
Hipotesis tabularasa sejalan dengan toeri behaviorisme yang menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran S – R (Stimulus – Respon).  Menurut teori ini bahasa adalah sekumpulan tabiat-tabiat  atau perilaku-perilaku.  Tabiat-tabiat inilah yang akan dituliskan pada “kertas kosong” tabularasa.  Setiap kalimat yang muncul dari hasil pemikiran manusia merupakan kalimat-kalimat baru.
Skinner dalam (Chaer, 2009: 176-178) mengatakan bahwa berbicara merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada suatu stimulus  dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya tidak diketahui.  Selanjutnya Skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan antara lain sebagai berikut.
            (1) Mands, yaitu satu operant bahasa di bawah pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan, merampas atau menghabiskan. Mands muncul sebagai kalimat imperaktif (bersifat memerintah) berupa  permohonan atau rayuan  hanya apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Misalnya, kanak-kanak mengucap kata ‘susu’, hal ini terjadi karena ada rasa haus atau lapar, anak tahu bahwa jika diucapkan kata itu, orang tua langsung memberikannya (ganjaran). Mands memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan dulu yang serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan. (2) Tacts, yaitu benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. Dalam tata bahasa tacts disamakan dengan menamai atau menyebut nama suatu benda atau peristiwa. Misalnya apabila melihat rumah sebagai stimulus maka yang keluar adalah kata ‘rumah’ sebagai respons. (3) Echoics, yaitu suatu perilaku yang dipengaruhi oleh respon orang lain sebagai stimulus dan kita meniru ucapan itu. Misalkan, seseorang mengucapkan ‘rumah’, maka kita akan merespon mengucapkan ‘rumah’. (4) Textual adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus yang tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan semantik antara sistem penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan respon ucapan apabila membacanya secara langsung. Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulusnya kita memberi respons [kuciÅ‹]. (5) Intraverbal operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya sebuah kata dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu akan diucapkan sebagai respon. Kata meja, misalnya akan membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai stimulus akan membangkitkan kata kembali sebagai responnya.

6.    POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL BERDASARKAN HIPOTESIS TABULARASA
Di atas telah dibahas mengenai penderita afasia motorik kortikal  dan kaitannya dengan pola akuisisi bahasa. Pola akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik kortikal ini selanjutnya akan dihubungkan dengan salah satu hipotesis pemerolehan bahasa yaitu tabularasa. Menurut hipotesis ini manusia dianalogikan sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi apa saja atau dengan kata lain manusia dapat memperoleh bahasa apa saja.  Hal ini berlaku juga pada penderita afasia motorik kortikal yang memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan isi pikiran melalui bahasa khususnya bahasa verbal.
Seperti yang telah dibicarakan mengenai berbicara sebagai satu respon operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam atau dari luar yang sebenarnya tidak jelas diketahui, maka dalam bagian ini akan diterangkan mengenai masing-masing kategori respon bahasa. Kategori-kategori respon bahasa di sini tentunya berlaku pada penderita afasia motorik kortikal. Sebenarnya penderita afasia motorik kortikal juga mengalami hal yang sama dengan manusia normal dalam menangkap stimulus. Namun yang membedakan ialah caranya merespon.
(1) Pada kategori mands, sebagai contoh apabila seseorang  yang normal ingin mendapatkan sesuatu yang berasal dari stimulus misalkan saja rasa lapar, maka sebagai respon ia akan mengucapkan minta makan.  Berbeda halnya dengan penderita afasia motorik kortikal yang tidak dapat menggunakan ekspresi verbal.  Ketika mendapat stimulus berupa rasa lapar maka ia akan menggunakan bahasa isyarat dengan mengelus-elus perutnya atau menuliskan pada selembar kertas. (2) Contoh untuk respon bahasa tacts, jika pada manusia normal yang mendapat stimulus melihat sebuah mobil akan mengeluarkan tact “mobil” sebagai respon, maka pada penderita afasia motorik kortikal tidak tidak dapat megeluarkan tact “mobil”. (3) Echois, pada kategori ini apabila pada manusia normal mendengar dari orang lain kata “mobil” sebagai stimulus ia akan menirukan, namun tidak bagi penderita afasia motorik kortikal. (4) Textual, pada manusia normal ketika membaca tulisan misalnya saja <kucing>  sebagai stimulus maka maka akan memberi respon pengucapan [kuciÅ‹].  Ini tentu tidak dapat dilakukan oleh penderita afasia motorik kotikal karena ia tidak dapat berbicara. (5) Intraverbal Operant, jika manusia normal dapat dengan mudah memberikan respon dari suatu kata yang diucapkan seseorang sebagai stimulus berupa kata yang memiliki hubungannya, maka penderita afasia motorik kortikal tidak mampu.
Lima kategori respons di atas sebetulnya dapat dilakukan oleh penderita afasia motorik kortikal.  Namun atas keterbatasannya dalam ekspresi verbal maka respon yang ia berikan bukanlah berupa perkataan atau ucapan, melainkan berupa isyarat atau melalui tulisan. Gangguan berbahasa afasia motorik kortikal memngubah cara seseorang dalam bersikap. Dengan memanfaatkan secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan penderita afasia masih bisa bekomunikasi dengannya (AIA, 2012).
Khusus untuk penderita afasia motorik kortikal, cara kita untuk dapat berkomunikasi tidaklah sesulit berkomunikasi dengan penderita afasia yang memiliki tingkatan cedera lebih parah.  Apabila kita ingin mengatakan sesuatu, maka katakan saja seperti berbicara dengan orang yang normal karena penderita afasia motorik kortikal tidak mengalami masalah pada pemahaman ujaran.  Namun, kita dituntut harus bersabar karena untuk merespons stimulus kita yang berupa ujaran, responsnya bukan berupa ujaran melainkan berupa bahasa isyarat atau tulisan.




7.    KESIMPULAN
Dalam pola akuisisi bahasa terdapat dua buah proses yaitu proses kompetensi dan performansi. Proses kompetensi berkenaan dengan  pemahaman dan penerbitan kata-kata, sedangkan proses performansi berkenaan dengan tindak ujaran.
Pola akuisisi bahasa pada manusia normal tentu saja berbeda dengan manusia yang menderita afasia atau gangguan berbicara. Penderita afasia khususnya afasia motorik kortikal mengalami lesi pada otak bagian broca yang merupakan tempat menghasilkan bahasa.  Penyebab terjadinya lesi ini dapat berupa serangan stroke, trauma maupun cedera otak akibat hantaman benda yang mengenai bagian otak penghasil bahasa.
 Penderita afasia motorik kortkal  kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan.  Ia masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan, namun sama sekali tidak bisa menggunakan ekspresi verbal.  Meskipun begitu, ia masih bisa menggunakan ekspresi visual yaitu melalui bahasa tulis dan bahasa isyarat. 
Pola akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik kortikal berkaitan dengan proses kompetensi dan performansi berbeda dengan manusia normal.  Pada proses kompetensi berupa pemahaman dan penciptaan kalimat-kalimat ia tidak mengalami kesulitan, namun pada proses performansi berupa tindak ujar (ekspresi verbal) ia mengalami kesulitan karena tidak ada tindak ujar yang muncul.
Hipotesis tabularasa menganalogikan manusia sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi apa saja atau dengan kata lain dapat memperoleh bahasa apa saja. Hipotesis ini berhubungan dengan teori behaviorisme yang mengandalkan hubungan stimulus-respons dalam komunikasi berbahasa. Dalam hipotetsis tabularasa dibahas mengenai lima kategori respons bahasa yaitu mands, tacts, echois, textual dan intraverbal operant.
Hipotesis tabularasa yang berbicara banyak mengenai stimulus-respons terjadi pula pada penderita afasia motorik kortikal.  Namun yang membedakan prosesnya dengan manusia normal adalah cara ia merespons stimulus.  Ia memiliki keterbatasan dalam ekspresi verbal maka respon yang ia berikan bukanlah berupa perkataan atau ucapan, melainkan berupa isyarat atau melalui tulisan. Gangguan berbahasa afasia motorik kortikal memngubah cara seseorang dalam bersikap. Dengan memanfaatkan secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan penderita afasia masih bisa bekomunikasi dengannya.

DAFTAR PUSTAKA
Aphasia, Association International. 2012. “Apakah Afasia?”. (Online) http://www.afasie.nl/aphasia/pdf/26/brochure1.pdf.  Diakses 18 Desember 2012.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowijodjo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dab Isu Umum.  Malang: UIN-Malang Press.
Lestari, Endang Sri dan Idun Kistinnah. 2009. Biologi 2: Makhluk Hidup dan Lingkungannya. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan  Nasional.
Prameswari, Anggun. 2011. “Aphasia, Apa Lagi Sih?”. (Online) http://a11no4.wordpress.com/tag/gangguan-pervasif/. Diakses 14 Desember 2012.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1989. Pertemuan Linguistik Lembaga Atma Jaya: Kedua. Jakarta: Kanisius.
Shinta, Qorinta. 2010. “Pemerolehan Pragmatik dalam Bahasa Anak Studi Kasus Prinsip Kerja Sama – Maksim Grice pada Anak Usia enam (6) Tahun”. (Online) www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fbib1/article/download/423/pdf. Diakses 15 Desember 2012.
Welly. 2012. “Penyakit Afasia”. (Online) http://missyellarose.blogspot.com/2010/02/5-penyakit-afasia.html. Diakses 15 Desember 2012.

Kamis, 04 Oktober 2012

PEMBELAJARAN MENYIMAK CERITA RAKYAT ANAK USIA SD KELAS 5 DAN 6


MATERI PEMBELAJARAN MENYIMAK CERITA RAKYAT
Dasar Pemilihan Materi Pembelajaran Menyimak Cerita Rakyat
            Menurut Piaget dalam (Desmita, 2011: 104) Anak usia Sekolah Dasar (SD) sudah memiliki kemapuan untuk berpikir melalui urutan sebab-akibat dan mengenali banyaknya cara yang bisa ditempuh dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya. Struktur kognitif mereka pun semakin berkembang seiring dengan makin tingginya jenjang pendidikan yang mereka tempuh. Namun, dengan struktur kognitif yang semain berkembang jika dilihat dari sisi usia, anak usia SD masih menyukai hal-hal yang berbau imajinasi atau khayalan. Berangkat dari pemikiran ini, materi menyimak sebuah cerita (cerita rakyat) dapat  diturutsertakan ke dalam pembelajaran Bahasa Indonesia karena dalam cerita rakyat siswa SD dapat turut memikirkan hubungan sebab-akibat dalam sebuah cerita yang mengandung banak unsur imajinasi.
            Bahan pembelajaran menyimak cerita rakyat ini haruslah dilandasi kriteria valid, bermanfaat, menarik, dan sesuai dengan tingkat kematangan intelektual siswa. Valid mengandung arti bahwa bahan itu dapat digunakan sebagai alat ukur tingkat pencapaian tujuan.  Apabila tujuannya dimaksudkan untuk memperoleh pengalaman, maka bahan yang diajarkan lebih menekankan pada faktor penikmatan dibandingkan pengetahuan.
            Bahan yang diajarkan pun harus memiliki nilai manfaat bagi siswa.  Artinya, dari bahan tersebut siswa dapat mengambil sisi positif berupa pengalaman, pengetahuan, dan pembelajaran hidup yang terkandung dalam cerita rakyat.  Agar hal ini dapat tercapai, maka bahan (cerita rakyat) yang disampaikan haruslah menarik perhatian siswa.  Cerita rakyat yang disajikan adalah cerita yang sesuai dengan usia siswaSD kelas 5 dan 6 (berkisar 10-11 tahun), pengetahuan dan perkembangan kejiwaan, memancing munculnya daya tanggap, daya imajinasi, daya pikir dan daya rasa mereka.  Bahan cerita pun hendaknya berada dalam batas intelektual siswa.  Artinya, cerita yang disajikan tidak begitu rumit (kompleks) namun tidak juga terlalu ringan mengingat pada usia ini tahun tingkat kognitif siswa sudah mulai tinggi.

Materi Pembelajaran Menyimak Cerita Rakyat
            Apabila dikelompokkan, maka materi pembelajaran menyimak yang berupa cerita dapat dibagi ke dalam beberapa jenis sebagai berikut.  Pertama, materi cerita berdasarkan great books atau bahan yang diambil dari cerita-cerita rakyat yang dianggap menonjol atau terkenal. Misalnya seperti cerita Malin Kundang, Tangkuban Perahu dan lain sebagainya.  Kedua, materi cerita berdasarkan daerah tempat Sekolah Dasar itu berdiri.  Apabila Sekolah Dasar itu berada di daerah Jawa (katakan saja Banyuwangi), maka cerita yang disajikan adalah Asal-usul Banyuwangi.  Ketiga, materi cerita berdasarkan tema.  Tema dapat dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu.  Misalnya saja saat itu sedang dalam bulan Desember, maka cerita rakyat yang disajikan bisa saja berasal dari tema hari ibu.

PROSES PEMBELAJARAN MENYIMAK CERITA RAKYAT
            Pembelajaran menyimak cerita rakyat memerlukan proses mulai dari menyiapkan metode, strategi dan langkah-langkahnya.  Hal ini sangat penting karena masing-masingnya dapat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Metode Pembelajaran Menyimak Cerita Rakyat
            Ada dua metode yang dapat dilakukan dalam pembelajaran menyimak cerita rakyat yakni metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung yang dimaksud adalah siswa diajak langsung berhadapan dengan sebuah cerita rakyat dengan harapan mereka dapat mengakrabi, merespon dan menghayati isi cerita.  Sedangkan metode tidak langsung dilakukan dengan memberikan kegiatan-kegiatan yang menunjang.  Dalam kegiatan penunjang, maka cerita rakyat tidak disajiakan secara langsung atau pembelajaran tidak terfokus pada menyimak cerita rakyat saja.  Cerita bisa disajikan di sela-sela pembelajaran lain sebagai intermeso.


Strategi Pembelajaran Menyimak Cerita Rakyat
            Strategi pembelajaran diperlukan untuk memperoleh hasil yang efektif dan efisien dalam menyimak cerita rakyat.  Adapun strategi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut: mendengarkan atau menyimak, identifikasi, tanya jawab atau diskusi dan tugas.
Langkah-Langkah Menyimak Cerita Rakyat
            Guru berperan penting dalam menyusun langkah-langkah pembelajaran menyimak cerita rakyat demi tercapainya tujuan belajar.  Oleh karena itu, langkah-lagkah pembelajaran yang dipilih hendaknya tidak begitu menyulitkan siswa sehingga siswa mudah menangkap pokok permasalhan yang ada dalam cerita. Langkah-langkah yang dapat digunakan antara lain sebagai berikut. Pertama, guru dapat memberikan introduksi untuk mencairkan suasana dan membuat hubungan antara siswa dengan guru menjadi lebih akrab sehingga siswa memperoleh kesan nyaman ketika nanti akan disuguhkan materi cerita. Misalnya saja guru menanyakan “Apa kabar?”, “Bagaimana keadaan kalian, sudah lelah ya?” dan lain sebagainya.  Lalu guru mulai menggiring siswa ke arah materi dengan memperkenalkannya seperti,”Nah kalau kalian sudah lelah, saya punya sebuah cerita menarik yang akan mengusir rasa lelah kalian”.  Sedikit kata-kata persuasi dapat menarik minat siswa untuk mulai menyimak materi.
            Kedua, setelah siswa setuju dan mulai penasaran dengan cerita apa yang akan disajikan guru, maka guru dapat memulai menyajikan ceritanya.              Ketiga, setelah cerita usai siswa diajak untuk tanya jawab atau diskusi sekitar isi cerita mulai dari  siapa saja  dan sifat-sifat tokohnya, latar cerita, amanat apa yang terkandung dalam isi cerita dan tanggapan-tanggapan siswa mengenai isi cerita. Keempat, guru menyimpulkan hasil diskusi dan memberikan alasan-alasan mengapa materi ini diberikan kepada siswa.

MEDIA/ALAT PERAGA PEMBELAJARAN MENYIMAK CERITA RAKYAT
            Media atau alat peraga dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran menyimak cerita rakyat.  Ada beberapa media yang dapat digunakan saat menyajikan cerita.  Guru dapat secara langsung bercerita dengan memperagakan gerakan-gerakan tokoh yang diceritakan dengan sekali-sekali menyuguhkan humor anak-anak agar siswa tidak bosan.  Guru dapat pula menggunakan media gambar-gambar runtutan peristiwa yang ada dalam cerita untuk membangun imajinasi siswa. Selain itu, media penyampaian yang lebih mudah adalah dengan menayangkan keseluruhan cerita secara utuh melalui LCD dengan dukungan sound system. Biasanya banyak sekali beredar video-video kartun yang berisi cerita-cerita rakyat.

EVALUASI PEMBELAJARAN MEYIMAK CERITA RAKYAT
            Evaluasi diperlukan untuk mengukur sejauh mana tingkat pemahaman siswa dalam pembelajaran menyimak cerita rakyat. Cara evaluasi yang dapat diapakai adalah dengan memberikan tugas.  Guru dapat kembali menyajikan sebuah cerita rakyat yang berbeda dari sebelumnya untuk disimak oleh siswa.  Setelah cerita selesai, siswa diberi tugas untuk mengidentifikasi tokoh beserta sifat-sifatnya, latar cerita dan amanat yang terkandung di dalamnya.  Tugas yang diberikan dapan berupa tulisan mapupun secara lisan. Secara tulisan, maksudnya siswa menuliskan hasil identifikasi yang diperoleh dari cerita.  Sedangkan secara lisan berarti siswa dapat menceritakan kembali isi cerita di depan kelas.

DAFTAR PUSTAKA
Desmita, 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sabtu, 23 Juni 2012

MEMBENTUK KESANTUNAN BERBAHASA PADA MAHASISWA MELALUI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA


1. Pendahuluan
            Kurang lebih dua belas tahun belajar bahasa Indonesia di bangku sekolah, agaknya anak belum bisa dikatakan memiliki keterampilan berbahasa Indonesia yang baik. Hal ini dibuktikan dengan kurang terampilnya penggunaan bahasa Indonesia baik dalam penuturan maupun penulisan ketika anak sudah duduk di bangku kuliah.  Penuturan yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana anak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika sedang berbicara dengan lawan bicaranya, sedangkan penulisan adalah bagaimana anak menerjemahkan pikirannya ke dalam tulisan berbahasa Indonesia. Padahal menurut Badudu (1992: 8), bahasa Indonesia dalah bahasa pengantar di sekolah sekolah di seluruh Indonesia. 
            Semenjak menduduki bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, anak selalu disibukkan dengan pembelajaran Bahasa Indonesia yang bersifat teoritis dengan praktek yang minim, sehingga hal ini menimbulkan kejenuhan tersendiri. Implikasi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari pun dirasa kurang. Hal seperti ini berimbas pada penggunaan bahasa Indonesia ketika seseorang berada di  perguruan tinggi. 

2. Kesantunan Berbahasa Indonesia
            Menurut KBBI, kesantunan berasal dari kata dasar “santun” yang artinya baik atau halus.  Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terkenal dengan kesantunannya, karena banyak sekali menggunakan pilihan kata yang menyampaikan maksud secara tidak langsung dengan tujuan memeperhalus perkataan di hadapan mitra tutur. Kesantunan berbahasa seperti ini merupakan ciri khas orang Indonesia yang memiliki budi pekerti yang halus dan menghargai orang lain.
            Pemakaian bahasa Indonesia yang santun akan mencerminkan kepribadian. Semakin baik seseorang menggunakan pilihan kata, ungkapan, struktur kalimat dan intonasi yang ketika sedang berkomunikasi, maka semakin baik pula kepribadiannya, begitu pula sebaliknya.   Pemakaian bahasa Indonesia yang santun dapat diidentifikasi ketika (1) penutur  berbicara wajar dengan akal sehat, (2) penutur  mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, (3) penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur, (4) penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum, dan  (5) penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.
             Kesantunan berbahasa dapat disampaikan secara verbal  seperti perkataan ”tolong” pada waktu menyuruh orang lain, ucapan ”terima kasih” setelah orang lain melakukan tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur,  penyebutan kata ”bapak, Ibu” dari pada kata ”Anda”, penyebutan kata ”beliau” dari pada kita ”dia” untuk orang yang lebih dihormati, pergunakan kata ”minta maaf” untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur.  Kesantunan seperti ini dapat terbentuk dari lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial lainnya.  Apabila lingkungannya tersebut memiliki kebiasaan berbahasa yang santun, maka akan memungkinkan seseorang turut terbiasa berbahasa santun.  Namun sebaliknya, apabila lingkungan sekitar tidak memiliki kebiasaan berbahasa yang santun maka dapat memungkinkan pula seseorang tidak mampu berbahasa santun.

3.  Penggunaan Kesantunan Bahasa di Lingkungan Mahasiswa
            Mahasiswa di perguruan tingggi dikatakan sebagai pelajar di ranah tertinggi pendidikan.  Tentunya sebagai pelajar  tertinggi, mahasiswa harus bisa bersikap berbeda dengan orang-orang yang masih mengenyam pendidikan yang tingkatannya berada di bawah perguruan tinggi.  Sikap berbeda itu salah satunya adalah dengan kedewasaan menyikapi segala hal termasuk ketika berkomunikasi.
            Bahasa yang dipakai dalam lingkungan perguruan tinggi tentunya berbeda dengan lingkungan yang berada di luar. Keasantunan berbahasa sangat diutamakan karena perguruan tinggi merupakan salah satu tempat interaksi sosial orang-orang berpendidikan.  Sebagai orang yang berpendidikan tinggi, mahasiswa harus menguasai kesantunan dalam berbahasa.  Namun alangkah disayangkan, masih banyak mahasiswa yang kurang santun ketika berbicara.  Kekurangsantunan itu dapat berupa ketika (1) penutur menyampaikan kritik secara langsung, (2) penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, (3) penutur protektif terhadap pendapatnya, dan (4) penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur.  Padahal hal-hal seperti ini dapat berakibat fatal apabila sedang terjadi komunikasi, terlebih komunikasi yang dilakukan dengan mitra tutur yang merupakan orang-orang besar.

4.  Membentuk Kesantunan Berbahasa Pada Mahasiswa Melalui Mata Kuliah Bahasa
     Indonesia
            Di perguruan tinggi, bahasa Indonesia menjadi mata kuliah wajib.  Secara umum, alasan diwajibkannya mata kuliah ini antara lain : (1) mahasiswa merupakan komponen bangsa yang wajib mempelajari dan mengembangkan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional dari bangsa Indonesia, (2) sebagai alat pengembangan kepribadian oleh setiap mahasiswa, agar mahasiswa dapat memahami konsep penulisan ilmiah dan mampu menerapkan dalam penulisan karya ilmiahnya,dan (3) sebagai alat komunikasi yang sekaligus dapat mengembangkan kecerdasan, karakter dan kepribadiannya.
            Dalam artikel ini, penulis menyoroti alasan terakhir dari ketiga alasan di atas. Mengingat kurangnya pemahaman  pemakaian bahasa Indonesia dalam tindak tindak tutur sebagai alat komunikasi sosial, maka adanya mata kuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi diharapkan dapat menjembatani mahasiswa untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga kesantunan tetap terjaga. Namun, pengajarannya jangan lagi hanya bersifat teoritis dan sama persis dengan yang ada di sekolah-sekolah sebelumnya.  Tingkatan pemahaman ke arah aplikasi berbicara atau berkomunikasi harus lebih ditinjolkan.
            Sangat  disayangkan apabila masih terdapat mahasiswa yang tidak berbahasa Indonesia secara santun seperti menggunakan piihan kata yang kasar, tidak senonoh, dan lain sebagainya. Ini  dikarenakan hal itu dapat mencoreng citra perguruan tinggi sebagai tempat orang-orang mengenanym pendidikan tinggi.
           
5.  Kesimpulan
a)      Kesantunan berbahasa (bahasa Indonesia khususnya) mencerminkan kepribadian penuturnya.
b)      Masih kurangnya kesantunan berbahasa di kalangan mahasiswa
c)      Adanya Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib sedikit banyak bisa mengurangi kekurangsantunan mahasiswa dalam bertutur.

Daftar Pustaka
Badudu, J.S. 1992. Cakrawala Bahasa Indonesia II. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Avina. 2011. “Materi Mata Kuliah Bahasa Indonesia”. (online)                    
Pondok Bahasa. 2008. “Kesantunan Berbahasa Indonesia sebagai Pembentuk Kepribadian
berbahasa-indonesia-sebagai-pembentuk-kepribadian-bangsa/. Diakses (6 Juni
2012).

PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS UNTUK ANAK USIA SD


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Seiring dengan terus bergulirnya arus globalisasi, segalanya hampir tidak punya batas lagi.  Begitu pula dengan bahasa antar negara.  Seluruh negara di dunia sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan bahasanya sendiri untuk hidup berdampingan dengan negara-negara lain.  Berasal dari sini lah akhirnya harus ada satu bahasa yang menjadi bahasa internasional sebagai alat komunikasi yang bisa digunakan di seluruh belahan dunia.  Bahasa Inggris pun dipilih menjadi bahasa internasional itu.
            Keahlian berbahasa internasional (bahasa Inggris) ini diperlukan untuk menguasai ilmu pengetahuan, memiliki pergaulan luas dan karir yang baik. Hal ini membuat semua orang dari berbagai kalangan termotivasi untuk mengusai bahasa Inggris.
            Meningkatnya kebutuhan akan berbahasa Inggris di dunia rupanya juga terjadi di Indonesia.  Bahasa Inggris menjadi penting untuk dipelajari jika tidak ingin tertinggal dengan negara lain.   Maka tidak heran, beberapa tahun belakangan ini pembelajaran bahasa Inggris begitu masif dilakukan di semua tingkat satuan pendidikan, tidak terkecuali pendidikan pra-sekolah yang notabene siswanya dikategorikan sebagai anak usia dini. Banyak institusi pendidikan pra-sekolah, baik yang bertaraf internasional maupun lokal, yang menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran. Bahkan tidak hanya itu, bahasa Inggris juga digunakan oleh para siswa dan guru sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di lingkungan sekolah.
            Tidak hanya sekolah pada tataran atau tingkat SMP dan SMA, pada tingkat SD pun pelajaran bahasa Inggris sudah didiajarkan untuk melatih dasar-dasarnya. Bagi sebagian besar murid di Sekolah Dasar, mata pelajaran bahasa Inggris bisa jadi merupakan mata pelajaran baru dan sulit. Hal ini dikarenakan kebiasaan berbahasa mereka di rumah tidak menggunakan bahasa Inggris.


1.2  Rumusan Masalah
            Rumusan masaah yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain:
  1. Pendekatan teoritis apa saja yang dapat digunakan dalam pembelajaran penguasaan bahasa Inggris (khususnya untuk anak usia SD)?
  2. Bagaimana karakteristik pemerolehan bahasa pada anak usia SD sebagai pembelajar bahasa?
  3. Bagaimana metode pembelajaran bahasa Inggris untuk anak usia SD?
  4. Kegiatan apa saja yang dilakukan dalam pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia SD?
  5. Bagaimana Implikasi positif pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia SD?

1.3  Batasan Masalah
Batasan masalah dalam suatu kajian atau analisis  sangatlah penting dalam menentukan arah tujuan penulisan.  Oleh karena itu dalam bahasan yang memiliki tema utama “belajar bahasa pada anak, orang dewasa, baik belajar B1 atau B2 dan bahasa sasaran/target lainnya”  penulis membatasi pembahasan dengan belajar bahasa kedua (bahasa Inggris) yang dikhususkan bagi anak usia SD.

1.4  Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan karya tulis ini antara lain :
  1. Menambah pengetahuan mengenai bagaimana pembelajaran bahasa kedua (bahasa Inggris) pada anak usia SD.
  2. Memperoleh pengetahuan mengenai metode dan implikasi positif pembelajaran bahasa Inggris anak usia SD.
  3. Dapat mengaplikasikan teori mengenai pembelajaran bahasa Inggris bagi anak usia SD yang ada di sekitar.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar, implisit, dan informal. Pemerolehan bahasa juga disebut sebagai proses alami dalam diri seseorang untuk menguasai bahasa atau proses seseorang mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal.  Pemerolehan bahasa dibagi menjadi dua yaitu pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) dan pemerolehan bahasa kedua (bahasa asing).
2.1.1  Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa adalah bahasa pertama yang diperoleh dan dipahami anak dalam kehidupan dan berkomunikasi di lingkungannya (Suhartono, 2005: 81).  Bahasa pertama disebut juga sebagai bahasa ibu,  karena anak pertama kali berintaraksi dan belajar dengan ibu. Pemerolehan bahasa pertama (B1)  terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa.
2.1.2  Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh setelah bahasa pertama.  Bahasa kedua didapat oleh anak dari lingkungan, baik lingkungan sekitar rumaha atau tempat bermain maupun lingkungan sekolah.

2.2  Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua
            Di Indonesia, bahasa pertama atau bahasa ibu yang dikuasai anak kebanyakan merupakan bahasa daerah. Sedangkan bahasa kedua yang dikuasai adalah bahasa Indonesia.  Namun seiring dengan bergulirnya arus globalisasi, bahasa kedua yang didapat anak tidak lagi hanya bahasa Indonesia akan tetapi ditambah lagi dengan bahasa Inggris.
Milafaila (2011) merangkum beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembelajaan bahasa Inggris pada anak usia SD. Di antaranya adalah kebijakan Depdikbud RI Nomor 0487/14/1992 Bab VIII menyatakan bahwa Sekolah Dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, dengan syarat pelajaran ini tidak tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan Nasional. Kebijakan ini kemudian ditindak lanjuti melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris lebih dini sebagai satu mata pelajaran muatan lokal di Sekolah Dasar. Kebijakan tentang program bahasa Inggris ini selanjutnya ditindaklanjuti oleh beberapa propinsi, bahkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur mengeluarkan Surat keputusan Nomor 1702/105/1994 tanggal 30 Maret 1994 yang menyatakan bahwa mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib.
           


BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Pendekatan Teoritis
            Menurut Bohannon dan Warren-Leubecker dalam dalam Cahyono (1997: 136-137) terdapat empat pendekatan penguasaan bahasa Inggris.  Keempat pendekatan itu adalah pendekatan behavioristik (behavioristic approach), pendekatan linguistic (linguistic approach), pendekatan interaksionis-kognitif (cognitive-interactionist approach) dan pendekatan interaksi sosial (social interaction approach).
3.1.1  Pendekatan Behavioristik
            Pendekatan behavioristik memfokuskan pada belajar yang didasarkan pada hubungan stimulus-respons. Inti pandangan model ini ialah Language is a function of reinfoercement.  Menurut teori ini anak-anak mula-mula merupakan tabula rasa. Kata-kata yang didengarnya disimpan di dalam ingatan melalui asosiasi. Kemudian dalam observasinya sehari-hari terhadap lingkungan, ia melihat adanya suatu hubungan antara entry (kombinasi antara objek dengan person) dengan suatu aksi tertentu. Lama-lama terjadi asosiasi yang kuat antara keduanya dan asosiasi tersebut disimpannya dalam ingatan (memory). Makin banyak asosiasi yang terjadi dan disimpan dalam ingatannya.
3.1.2  Pendekatan Linguistik
Menurut pendekatan linguistik, anak memiliki struktur bahasa atau gramatika yang independen.  Pendekatan ini juga mempercayai adanya mekanisme alamiah (innate machanism) yang  memadu penguasaan bahasa anak.  Anak-anak dipandang memiliki piranti pemerolehan bahasa yang dikenal dengan sebutan LAD (Language Acquisition Device).  Piranti pemerolehan bahasa ini membantu anak memperoleh struktur gramatikal bahasa orang dewasa yang sangat kompleks.  Secara alamiah piranti ini membantu memperkenalkan anak-anak pada semesta bahasa, membantu pemahaman, dan menghasilkan kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya.

3.1.3  Pendekatan Interaksi Kognitif
Menurut pendekatan ini, bahasa merupakan suatu pengungkapan seperangkat kemampuan kognitif yang lebih umum.  Perkembangan sistem kognitif yang memadai merupakan dasar pengungkapan bahasa.  Tugas utama para penganut pedekatan interaksi kognitif ini adalah mengidentifikasikan urutan kematangan kognitif  dan menjelaskan bagaimana perkembangan kognitif itu dapat menghasilkan pemerolehan bahasa.
3.1.4  Pendekatan Interaksi Sosial
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa perkembangan bahasa merupakan hasil pemerolehan kaidah-kaidah gramatikal.  Lingkungan dipandang sebagai sumber masukan pengalaman bahasa yang diperlukan untuk perkembangan.   Hubungan interaksi sosial dan pemerolehan bahasa itu sendiri merupakan hubungan yang saling menguntungkan.  Interaksi sosial membantu pemerolehan bahasa dan pemerolehan bahasa itu juga mematangkan interaksi sosial.
            Pengajaran bahasa Inggris untuk anak dengan mengambil sisi-sisi baik dari masing-masing pendekatan ini amat disarankan.  Misalnya saja, anak-anak tetap perlu diberi stimulus bahasa Inggris maupun penguatan terhadap stimulus itu.  Mereka juga perlu  diberi kesempatan untuk berkomunikasi dan mengungkapkan kemampuan berbahasanya secara kreatif dan bukan imitatif. Pemberian kesempatan berbahasa Inggris kepada anak-anak dalam suasana interaktif dan bermakna akan menambah keberhasilan pengajaran itu.

3.2  Karakteristik Anak Usia SD sebagai Pembelajar Bahasa
            Pembelajaran bahasa Inggris yang melibatkan anak usia SD sebagai pembelajar mengharuskan guru selaku pengajar untuk memahami kalakteristiknya.  Hal ini dilakukan agar guru dapat menentukan metode apa yang tepat untuk dapat diterapkan kepada siswanya.  Karakteristik itu antara lain :
  1. Mereka suka belajar sambil bermain
  2. Mereka dapat menceritakan apa yang mereka lakukan dan dengarkan
  3. Mereka memiliki perhatian dan konsentrasi yang singkat (tidak tahan lama)
  4. Mereka mempelajari bahasa Inggris dengan cara menyimak, menirukan dan mengucapkan
  5. Mereka sebenarnya belum menyadari untuk apa belajar bahasa asing walaupun mereka senang dan bersemangat
  6. Anak belajar dengan baik ketika mereka diberi motivasi untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan yang berhubungan dengannya.

3.3  Metode Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak SD
            Metode pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris.  Oleh karena itu, guru harus memilki metode yang menarik bagi anak (terutama usia SD) dengan memperhatikan karakteristiknya.  Berikut beberapa metode pembelajaran bahasa Inggris bagi untuk anak usia SD yang dapat diterapkan:
  1. Listen and Repeat
Dalam teknik pembelajaran ini, pengajar mengucapkan sesuatu dan anak hanya mendengarkan. Kemudian pengajar mengucapkan lagi dan anak diminta mengulang apa yang diucapkan oleh guru.
  1. Listen and Do
Dalam kegiatan ini pengajar mengucapkan suatu ungkapan atau perintah, anak mendengarkan baik-baik kemudian anak melakuakn apa yang dikatakan pengajar.
  1. Question and Answer
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan anak mulai bertanya dan memberi contoh jawabanya. Kemudian siswa menirukan, setelah itu pengajar bertanya, dan meminta anak menjawab.
  1. Subtitution
Dalam teknik ini pengajar menghilangkan salah satu bagian kalimat dan meminta anak untuk mengganti dengan kata lain yang sejenis. Salah satu teknik yang sangat luwes adalah menggunakan ungkapan ”Let’s……..” yang merupakan ajakan kepada anak untuk melakuakan sesuatu.


  1. Draw and Colour
Pembelajaran bahasa Inggris dapat ditambah dengan kegiatan menggambar dan mewarnai setelah mereka mengenal beberapa kata, benda, atau warna.
  1. See differences
Kegiatan ini melatih anak melakukan observasi untuk menmukan persamaan atau perbedaan dua benda atau gambar. Hal ini melatih ketelitian dan dapat menyenangkan anak.
  1. Kegiatan berpasangan
Kegiatan yang dilakuakan oleh siswa secara berpasangan atau berdua dapat melatih anak berintarksi dan berkomunikasi. Kegiatan ini bisa juga bisa berupa kegiatan question-answer.
  1. Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)
Anak dapat belajar dari temannya melalui cooperative learning. Kelompok dapat bekerja sama untuk membuat laporan atau tugas yang diberikan pengajar, seperti puzzle, teka-teki, dll.
  1. Pemodelan dan demonstrasi
Pemodelan merupakan strategi untuk memberi contoh kepada anak bagaiman mereka melakukan, belajar, dan membuat sesuatu. Pemodelan di umumnya dapat berupa pronunciation drill (latihan pengucapan).
  1. Concept Mapping
Concept mapping biasanya digunakan untuk melatih anak mengaitkan suatu konsep atau sesuatu yang sudah diketahui dengan konsep lain atau hal-hal lain yang erat hubungannya.

3.4  Kegiatan Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak Usia SD
Menurut Kasihani K.E. Suyanto (2008: 23), kegiatan anak (termasuk anak usia SD) dalam pembelajaran mencakup semua kompetensi bahasa yang berupa keterampilan menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Keterampilan bahasa ini disajikan secara terpadu, seperti apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
  1. Keterampilan menyimak (listening)
Bagi anak, menyimak adalah suatu kegiatan yang sulit karena kosa kata mereka masih sangat terbatas. Kesulitan mereka akan terbantu jika apa yang disampaikan diiringi dengan gerakan tangan, ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Hal ini akan membuat mereka termotivasi dari pada jika mereka diminta mendengar.
  1. Keterampilan berbicara (speaking)
Dari semua insting yang dimiliki anak sebagai pembelajar muda bahasa Inggris, insting untuk berinteraksi dan berbicara adalah yang paling penting untuk pembelajaran bahasa Inggris. Anak-anak biasanya ingin segera menggunakan bahasa yang mereka pelajari untuk berkomunikasi.
  1. Keterampilan membaca (reading)
Dalam melaksanakan kegiatan membaca, anak hendaknya paham tujuan dari kegiatan tersebut, apakah mereka membaca untuk mengerti dari bacaan itu atau mereka harus membaca untuk mendapatkan informasi tertentu saja. Anak tidak harus mengerti arti kata perkata, yang penting mereka bisa mengerti konteks dari suatu bacaan. Sebaiknya untuk kegiatan membaca dipilih topik yang berhubungan dengan minat anak, sesuatu yang berhubungan dengan lingkungannya, sesuatu yang menarik serta berhubungan dengan topik yang dibahas saat itu. Pengetahuan umum dan perbendaharaan kata yang telah dimiliki serta penggunaan gambar dapat membantu anak dalam mengerti suatu bacaan.
  1. Keterampilan Menulis (writing)
Keterampilan menulis merupakan kelanjutan dari kegiatan terdahulu. Kegiatan itu hendaknya disesuaikan dengan usia dan tingkat kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa Inggris. Writing merupakan keterampilan yang kompleks karena memerlukan kemampuan mengeja, struktur, dan penggunaan kosakata.
Kegiatan belajar bahasa Inggris pada anak usia dini (khususnya usia SD) lebih dititik beratkan pada kegiatan listening dan speaking. Hal ini dikarenakan untuk kemampuan-kemampuan seperti reading maupun writing belum bisa dikuasai secara baik oleh anak, mengingat adanya perbedaan antara tulisan dan pengucapan bahasa inggris, sehingga anak akan mengalami kesulitan, karena belum sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya.

3.5  Implikasi Positif Pembelajaran Bahasa Inggris pada Anak Usia SD
Pembelajaran bahasa Ingrris pada anak usia SD memiliki implikasi positif bagi kehidupan sehari-hari. Menurut Marcoz dalam Mulyadin (2012), terdapat tiga implikasi positif pembelajaran bahasa Inggris yaitu meliputi aspek kognitif (cognitive), kepribadian (personality), dan sosial (societal).
  1. Aspek Kognitif
Melalui pembelajaran dan penguasaan bahasa asing (bahasa Inggris), anak cenderung lebih kreatif dan mampu berpikir kompleks sehingga mereka dapat memecahkan permasalahan yang rumit. Selain itu, kemampuan berbahasa mereka yang makin terasah akan meningkatkan potensi kemampuan otak kiri. Tentu saja, kemampuan lainnya yang berada di otak kiri, seperti matematik dan rasional, akan ikut meningkat. Oleh karena itu, dengan kata lain kemampuan anak berbahasa asing memberikan pengaruh positif pada pelajaran lainnya.
  1. Aspek kepribadian
Anak yang mampu berbahasa asing memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena mereka lebih berani untuk mengekspresikan dirinya. Disamping rasa percaya diri, melalui pengajaran bahasa asing yang mencakup berbagai topik di dalamnnya, rasa ingin tahu mereka terbentuk dan mereka akan lebih termotivasi untuk mempelajari hal-hal yang baru. Rasa percaya diri dan motivasi belajar menjadi hal yang lebih menonjol pada mereka dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki kemampuan bahasa asing.
  1. Aspek sosial
Anak yang terbiasa dengan bahasa asing akan lebih terbuka dengan perbedaan dan memiliki kesempatan lebih banyak untuk berkomunikasi khususnya dengan orang asing. Oleh karena itu, mereka akan mudah untuk bersosialisasi terlebih dengan perkembangan teknologi komunikasi dan jejaring sosial yang makin pesat anak dapat membuat pertemanan mereka lebih luas.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
            Pembelajaran bahasa Inggris sekarang ini sudah bukan hal asing lagi jika diajarkan pada anak usia dini, khususnya anak usia SD (6-12) tahun.  Penguasaan bahasa Inggris rupanya sudah menjadi kebutuhan bagi pelajar bahkan di hampir semua jenjang pendidikan. Pembelajaran bahasa Inggris dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan teoritis seperti pendekatan behavioristik, pendekatan linguistik, pendekatan interaksi kognitif, dan pendekatan interaksi sosial.
            Dalam mengajarkan bahasa  Inggris pada anak usia SD, pengajar harus terlebih dahulu mengetahui karakteristik anak yang diajarnya.  Hal ini diperlukan agar pengajar dapat menentukan metode belajar seperti apa yang sesuai jika diterapkan pada anak usia SD, karena setiap jenjang usia memiliki karakteristik yang berbeda-beda terlebih dalam aspek kognitifnya. Selain itu pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia SD juga harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa Inggris seperti bahasa ibu, bahan ajar, interaksi sosial, latar belakang keluarga dan media pembelajaran.
Kegiatan belajar bahasa Inggris meliputi menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading) dan menulis (writing).  Namun, untuk anak usia SD pembelajaran lebih ditekankan pada listening dan speaking.  Tentunya pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia SD ini memiliki implikasi positif, di antaranya dapat dilihat dari aspek kognitif, kepribadian dan sosial.

4.2  Saran
            Pembelajaran bahasa Inggris yang sudah menjadi kebutuhan hendaknya tidak dijadikan beban.  Sudah sepatutnya anak sudah dikenalkan dengan bahasa Inggris sejak dini sebagai persiapan dalam menghadapi tantangan arus globalisasi yang mengharuskan adanya penguasaan bahasa Inggris sebagai penunjang.  Namun, kita tidak boleh melupakan begitu saja bahasa bangsa sendiri yaitu bahasa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Bambang Yudi. 1997. Pengajaran Bahasa Inggris. Malang: Penerit IKIP Malang.
Suhartono. 2005. Pengembangan Keterampilan Bicara Anak Usia Dini. Jakarta: Diknas.
Suyanto, Kasihani K.E. 2008. English For Young Learners. Jakarta: Bumi Aksara.
Milafaila. 2011.  “Pemanfaatan Media Audio Visual sebagai Upaya untuk Meningkatkan Penguasaan Bahasa Inggris Anak Usia Dini”. (Online) http://failashofagmail.wordpress.com/2011/05/05/21/.  Diakses 11 Juni 2012.
Mulyadin, Taufik. 2012. “Bahasa Inggris dan Pembentukan Karakter Anak Sejak Dini”. (Online) http://pojokkangadin.blogspot.com/2012/02/bahasa-inggris-dan-pembentukan-karakter.html. Diakses 14 Juni 2012.