Abstrak:
Pola akuisisi atau pemerolehan bahasa
pada manusia normal tentunya berbeda dengan manusia yang mengalami gangguan
berbahasa atau afasia. Afasia sendiri memiliki berbagai macam jenis yang
salah satunya adalah afasia motorik kortikal. Penderitanya kehilangan
kemampuan mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Pola
akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik kortikal ini akan dihubungkan
dengan salah satu hipotesis pemerolehan bahasa yaitu hipotesis tabularasa. Hipotesis
ini mengatakan bahwa otak manusia yang baru lahir diibaratkan seperti kertas
kosong.
Kata
Kunci : akuisisi bahasa, afasia motorik
kortikal, hipotesis tabularasa.
|
1. LATAR BELAKANG
Sungguh merupakan keagungan Tuhan yang
tiada terkira. Dia yang menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna. Sebagai makhluk yang sempurna,
manusia telah dibekali berbagai kemampuan sejak dari ia dilahirkan. Salah satu kemampuan manusia yang membedakan
dan menjadi keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain ialah kemampuan
berbahasa. Dengan kemampuan itulah, sejak kecil manusia belajar memahami dan
mengucapkan kata-kata.
Akuisisi atau pemerolehan bahasa pada
manusia normal merupakan pembahasan yang menarik terkait dengan ranah ilmu
kebahasaan. Namun akan lebih menarik lagi apabila yang dibahas adalah mengenai
akuisisi pada manusia yang mengalami gangguan berbahasa atau yang dalam istilah
ilmiah disebut afasia. Akuisisi bahasa
pada penderita afasia tentunya berbeda dengan akuisisi bahasa pada manusia
normal. Penderita afasia memiliki pola akuisisi sendiri sesuai dengan tingkat
kerusakan bagaian otak yang mengatur fungsi kebahasaan.
Artikel
ini khusus membahas mengenai pola akuisisi bahasa yang ada pada penderita salah
satu dari jenis afasia (afasia motorik kortikal), dimana nantinya akan
dijabarkan lebih lanjut. Selain itu,
untuk memperkaya khazanah sekaligus memperkuat dasar penulisan artikel ini,
maka penulis menghubungkan dengan salah satu
dari beberapa hipotesis pemerolehan bahasa yaitu hipotetis tabularasa. Keterkaitan antara pola akuisisi bahasa,
afasia motorik kortikal dan hipotesis tabularasa seperti yang telah
dikemukakan, akhirnya menarik perhatian penulis untuk membuat artikel dengan
judul “Pola Akuisisi Bahasa pada Penderita Afasia Motorik Kortikal Berdasarkan
Hipotesis Tabularasa”.
2. POLA AKUISISI
BAHASA
Istilah akuisisi atau yang dalam bahasa Inggris disebut acquisition merupakan padanan dari
istilah pemerolehan. Pemerolehan yang dimaksud yakni proses penugasan bahasa
yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya
(Dardjowijojo, 2005: 225). Pemerolehan bahasa (language acquisition) sering kali disamakan dengan dengan
pembelajaran bahasa (learning acquisition).
Namun yang membedakan adalah jika pada akuisisi bahasa, anak mengalami proses
di dalam otaknya untuk belajar menguasai bahasa ibunya (native language/bahasa pertama/B1), maka pada pembelajaran bahasa
anak mengalami proses belajar menguasai suatu bahasa yang secara formal
(diajari) di dalam kelas. Pembelajaran
bahasa berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua atau B2.
Manusia yang sedang memperoleh bahasa
mengalami dua buah proses yakni proses
kompetensi dan proses performansi.
Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara
tidak disadari. Senada dengan itu, Shinta (2010) membagi proses kompetensi
menjadi (1) proses pemahaman, yaitu kemampuan atau kepandaian mempersepsi
kalimat-kalimat yang didengar dan (2) proses penerbitan atau proses
menghasilkan kalimat-kalimat baru, yaitu kemampuan mengeluarkan atau
memproduksi kalimat-kalimat sendiri. Proses penerbitan ini selanjutnya
diteruskan pada proses performansi yang
dalam linguistik transformasi generatif disebut juga perlakuan atau
pelaksanaan bahasa. Kedua proses ini berlainan, namun saling berkaitan karena
proses kompetensi merupakan syarat terjadinya proses performansi. Anak yang telah menguasai kedua proses ini dikatakan
memiliki kemampuan linguistik.
3. AFASIA
MOTORIK KORTIKAL
Kerusakan otak di hemisfer kiri daerah
pusat berbahasa (speech area) pada
seseorang yang cekat tangan kanan (rightander)
dapat menimbulkan gangguan berbahasa yang dinamakan afasia (Yelia, 2012). Lebih
lanjutnya Yelia menjelaskan bahwa afasia merupakan gangguan penggunaan bahasa
baik lisan maupun tulis. Afasia dapat mengenai modalitas bahasa yang terdiri
dari percakapan (spontaneus speech), pemahaman bahasa lisan (comprehension of spoken language),
pengulangan (repetition of spoken
language), penamaan (confrontation
naming), membaca dan menulis.
Pada
penderita afasia, tidak tentu semua modalitas bahasanya terganggu. Ada dua pola
afasia yaitu afasia sensorik dan afasia motorik. Namun yang akan dibahas dalam
artikel ini dikhususkan pada afasia motorik yang merupakan akibat dari
terganggunya neuron (saraf) motorik. Neuron motorik berfungsi suntuk meneruskan
impuls dari sistem saraf pusat ke otot dan kelenjar yang akan melakukan respon
tubuh (Lestari, 2009: 290). Afasia motorik berkenaan dengan terganggunya area
berbahasa yang berhubungan dengan lobus frontal, lobus temporal, dan lobus
pariental di otak bagian Broca. Area
ini terletak di belahan
otak kiri yang merupakan tempat kemampuan untuk
menghasilkan bahasa. Afasia motorik sendiri dibedakan menjadi menjadi beberapa
macam dan salah satunya adalah afasia motorik kortikal.
Purwo (1989: 173) menjelaskan afasia
motorik kortikal sebagai salah satu jenis gangguan berbahasa dimana pederitanya
kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan
perkataan. Penderita afasia motorik
kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan, namun sama
sekali tidak bisa menggunakan ekspresi verbal.
Meskipun begitu, ia masih bisa menggunakan ekspresi visual yaitu melalui
bahasa tulis dan bahasa isyarat.
Penyebab afasia pada umumnya atau lebih
khususnya pada afasia motorik kortikal dapat berupa terjadinya lesi pada area
penghasil ujaran pada otak yaitu broca. Penyebab lainnya seperti yang
dikemukakan oleh Prameswari (2011) antara lain stroke, traumatis dan cedera
otak. Ini sependapat dengan Welly (2012), menurutnya afasia terjadi ketika
terjadinya serangan stroke yang membuat gangguan bahasa dan komunikasi pada
otak. .Afasia ini berkembang secara perlahan-lahan, seperti dalam
kasus tumor otak atau progresif penyakit
saraf misalnya penyakit alzheimer atau parkinson. Hal ini mungkin juga
disebabkan oleh pendarahan
tiba-tiba yang terjadi di dalam otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek
samping yang jarang dari fentanyl, yaitu suatu
opioid yang digunakan untuk mengontrol rasa sakit kepala kronis.
Gejala-gejala
afasia motorik kortikal antara lain sebagai berikut (1) ketidakmampuan
mengucapkan, bukan karena kelumpuhan atau kelemahan otot; (2) ketidakmampuan
untuk berbicara spontan; (3) ketidakmampuan untuk membentuk kata-kata; (4)
ketidakmampuan untuk menyebut nama objek; dan (5) terbatasnya perilaku verbal.
Adapun penanganan pada penderita afasia motorik kortikal antara lain dengan
perawatan selama beberapa periode di rumah sakit. Penanganan afasia pada
umumnya hampir selalu diteruskan ke ahli logopedia atau orang yang alhi dalam
bidang komunikasi.
4.
POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK
KORTIKAL
Clark dalam (Indah, 2008: 50) melansir
bahwa, fungsi bahasa yang paling utama sejak orang belajar bahasa adalah untuk
komunikasi. Belajar bahasa yang dimaksud di sini adalah belajar bahasa pertama
atau pemerolehan bahasa pertama. Komunikasi dengan bahasa dibedakan menjadi dua
macam aktivitas manusia yang mendasar, yaitu berbicara dan mendengarkan.
Kegiatan komunikasi akan berjalan lancar apabila tidak ada gangguan, khususnya
gangguan berbahasa seperti afasia motorik kortikal.
Seperti yang telah dikemukakan di atas
bahwasanya penderita afasia motorik kortikal mengalami kerusakan atau cidera
pada otak bagian broca sehingga kehilangan kemampuan dalam mengungkapkan isi
pikiran melalui perkataan atau ekspresi verbal.
Namun ia masih bisa menggunakan ekspresi visual seperti isyarat dan
menulis untuk mengungkapkan pikiran. Jika dihubungkan dengan pola akuisisi
seperti dalam proses kompetensi dan performansi, tentunya akan berbeda dengan
pola akuisisi pada manusia normal. Namun perlu diingat bahwa seseorang yang
menderita afasia secara umum memiliki kapasitas intelektual yang penuh.
Proses kompetensi terdiri atas proses
pemahaman dan penerbitan. Dalam proses pemahaman atau memamahi informasi yang
didengar, penderita afasia motorik kortikal tidak mengalami gangguan sehingga
ia tetap dapat memahami suatu ujaran. Begitu pula halnya dalam proses penerbitan atau proses
menghasilkan kalimat-kalimat sendiri, penderita tidak akan mengalami kesulitan.
Proses kompetensi merupakan pijakan bagi
proses performansi atau proses pelaksanaan tindak ujaran. Proses kompetensi pada pendeita afasia
motorik kortikal memang tidak terganggu, namun pada proses performansi atau
tindak ujar (ekspresi verbal) ia sama sekali tidak dapat melakukan. Broca tidak
mampu memproses dan menghasilkan tindak
ujaran. Ketika berkomunikasi, penderita afasia motorik kortikal nampak seperti orang bisu yang mengungkapkan
isi pikiran melalui isyarat atau tulisan sebagai bentuk performansinya dalam
mengekspresikan atau mengutarakan isi pikiran.
5.
HIPOTESIS TABULARASA
Dalam proses akuisisi atau pemerolehan
bahasa, dikenal tiga macam hipotesis yaitu hipotesis nurani, hipotesis tabularasa
dan hipotesis kesemestaan kognitif.
Namun, dalam artikel ini hanya akan membahas salah satunya saja yaitu
hipotesis tabularasa.
Tabularasa
secara harfiah berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum ditulis apa-apa
(Chaer, 2009: 172). Hipotesis yang pertama kali dikenalkan oleh tokoh empirisme
bernama John Locke ini mengatakan bahwa otak
bayi yang baru lahir bagaikan kertas kosong yang nantinya akan diisi dengan
pengalaman-pengalaman yang didapatnya. Lebih lanjut Chaer menjelaskan, menurut
hipotesis tabularasa semua pengetahuan bahasa manusia yang nampak dalam
perilaku berbahasa merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa
linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia.
Hipotesis tabularasa sejalan dengan toeri behaviorisme yang menganggap bahwa
pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang
dibentuk dengan cara pembelajaran S – R (Stimulus – Respon). Menurut teori ini bahasa adalah sekumpulan
tabiat-tabiat atau perilaku-perilaku. Tabiat-tabiat inilah yang akan dituliskan
pada “kertas kosong” tabularasa. Setiap
kalimat yang muncul dari hasil pemikiran manusia merupakan kalimat-kalimat
baru.
Skinner dalam (Chaer, 2009: 176-178) mengatakan bahwa berbicara merupakan
satu respons operan yang dilazimkan kepada suatu stimulus dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya
tidak diketahui. Selanjutnya Skinner
memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa yang hampir serupa fungsinya
dengan ucapan antara lain sebagai berikut.
(1) Mands, yaitu satu operant bahasa di bawah
pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan, merampas atau menghabiskan. Mands muncul sebagai
kalimat imperaktif (bersifat memerintah) berupa
permohonan atau rayuan hanya
apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Misalnya, kanak-kanak mengucap kata
‘susu’, hal ini terjadi karena ada rasa haus atau lapar, anak tahu bahwa jika
diucapkan kata itu, orang tua langsung memberikannya (ganjaran). Mands
memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan dulu yang serupa dan dialami,
respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan. (2) Tacts, yaitu benda atau
peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. Dalam tata bahasa
tacts disamakan dengan menamai atau menyebut nama suatu benda atau
peristiwa. Misalnya apabila melihat rumah sebagai stimulus maka yang keluar
adalah kata ‘rumah’ sebagai respons. (3) Echoics, yaitu suatu perilaku
yang dipengaruhi oleh respon orang lain sebagai stimulus dan kita meniru ucapan
itu. Misalkan, seseorang mengucapkan ‘rumah’, maka kita akan merespon
mengucapkan ‘rumah’. (4) Textual
adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus yang tertulis sedemikian
rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang
tertulis itu. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan semantik antara sistem
penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan respon ucapan apabila membacanya secara
langsung. Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulusnya
kita memberi respons [kuciŋ]. (5) Intraverbal
operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa
terdahulu dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya sebuah kata dituliskan
sebagai stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu akan
diucapkan sebagai respon. Kata meja, misalnya akan membangkitkan kata kursi.
Begitu juga kata terima kasih sebagai stimulus akan membangkitkan kata kembali
sebagai responnya.
6.
POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK
KORTIKAL BERDASARKAN HIPOTESIS TABULARASA
Di atas telah dibahas mengenai penderita
afasia motorik kortikal dan kaitannya
dengan pola akuisisi bahasa. Pola akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik
kortikal ini selanjutnya akan dihubungkan dengan salah satu hipotesis
pemerolehan bahasa yaitu tabularasa. Menurut hipotesis ini manusia dianalogikan
sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi apa saja atau dengan kata lain
manusia dapat memperoleh bahasa apa saja.
Hal ini berlaku juga pada penderita afasia motorik kortikal yang
memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan isi pikiran melalui bahasa khususnya
bahasa verbal.
Seperti
yang telah dibicarakan mengenai berbicara sebagai satu respon operan yang
dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam atau dari luar yang sebenarnya
tidak jelas diketahui, maka dalam bagian ini akan diterangkan mengenai
masing-masing kategori respon bahasa. Kategori-kategori respon bahasa di sini
tentunya berlaku pada penderita afasia motorik kortikal. Sebenarnya penderita
afasia motorik kortikal juga mengalami hal yang sama dengan manusia normal
dalam menangkap stimulus. Namun yang membedakan ialah caranya merespon.
(1)
Pada kategori mands, sebagai contoh apabila
seseorang yang normal ingin mendapatkan
sesuatu yang berasal dari stimulus misalkan saja rasa lapar, maka sebagai
respon ia akan mengucapkan minta makan.
Berbeda halnya dengan penderita afasia motorik kortikal yang tidak dapat
menggunakan ekspresi verbal. Ketika
mendapat stimulus berupa rasa lapar maka ia akan menggunakan bahasa isyarat
dengan mengelus-elus perutnya atau menuliskan pada selembar kertas. (2) Contoh
untuk respon bahasa tacts, jika pada
manusia normal yang mendapat stimulus melihat sebuah mobil akan mengeluarkan
tact “mobil” sebagai respon, maka pada penderita afasia motorik kortikal tidak
tidak dapat megeluarkan tact “mobil”. (3) Echois,
pada kategori ini apabila pada manusia normal mendengar dari orang lain kata
“mobil” sebagai stimulus ia akan menirukan, namun tidak bagi penderita afasia
motorik kortikal. (4) Textual, pada
manusia normal ketika membaca tulisan misalnya saja <kucing> sebagai stimulus maka maka akan memberi
respon pengucapan [kuciŋ]. Ini tentu
tidak dapat dilakukan oleh penderita afasia motorik kotikal karena ia tidak
dapat berbicara. (5) Intraverbal Operant,
jika manusia normal dapat dengan mudah memberikan respon dari suatu kata yang
diucapkan seseorang sebagai stimulus berupa kata yang memiliki hubungannya,
maka penderita afasia motorik kortikal tidak mampu.
Lima kategori respons di atas sebetulnya
dapat dilakukan oleh penderita afasia motorik kortikal. Namun atas keterbatasannya dalam ekspresi
verbal maka respon yang ia berikan bukanlah berupa perkataan atau ucapan, melainkan
berupa isyarat atau melalui tulisan. Gangguan berbahasa afasia motorik kortikal
memngubah cara seseorang dalam bersikap. Dengan memanfaatkan secara optimal
kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan penderita afasia masih bisa
bekomunikasi dengannya (AIA, 2012).
Khusus untuk penderita afasia motorik
kortikal, cara kita untuk dapat berkomunikasi tidaklah sesulit berkomunikasi
dengan penderita afasia yang memiliki tingkatan cedera lebih parah. Apabila kita ingin mengatakan sesuatu, maka
katakan saja seperti berbicara dengan orang yang normal karena penderita afasia
motorik kortikal tidak mengalami masalah pada pemahaman ujaran. Namun, kita dituntut harus bersabar karena
untuk merespons stimulus kita yang berupa ujaran, responsnya bukan berupa
ujaran melainkan berupa bahasa isyarat atau tulisan.
7.
KESIMPULAN
Dalam pola akuisisi bahasa terdapat dua
buah proses yaitu proses kompetensi dan performansi. Proses kompetensi
berkenaan dengan pemahaman dan
penerbitan kata-kata, sedangkan proses performansi berkenaan dengan tindak
ujaran.
Pola akuisisi bahasa pada manusia normal
tentu saja berbeda dengan manusia yang menderita afasia atau gangguan berbicara.
Penderita afasia khususnya afasia motorik kortikal mengalami lesi pada otak
bagian broca yang merupakan tempat menghasilkan bahasa. Penyebab terjadinya lesi ini dapat berupa
serangan stroke, trauma maupun cedera otak akibat hantaman benda yang mengenai bagian
otak penghasil bahasa.
Penderita afasia motorik kortkal kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi
pikiran dengan menggunakan perkataan. Ia
masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan, namun sama sekali tidak
bisa menggunakan ekspresi verbal.
Meskipun begitu, ia masih bisa menggunakan ekspresi visual yaitu melalui
bahasa tulis dan bahasa isyarat.
Pola akuisisi bahasa pada penderita
afasia motorik kortikal berkaitan dengan proses kompetensi dan performansi
berbeda dengan manusia normal. Pada
proses kompetensi berupa pemahaman dan penciptaan kalimat-kalimat ia tidak
mengalami kesulitan, namun pada proses performansi berupa tindak ujar (ekspresi
verbal) ia mengalami kesulitan karena tidak ada tindak ujar yang muncul.
Hipotesis tabularasa menganalogikan
manusia sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi apa saja atau dengan kata
lain dapat memperoleh bahasa apa saja. Hipotesis ini berhubungan dengan teori
behaviorisme yang mengandalkan hubungan stimulus-respons dalam komunikasi
berbahasa. Dalam hipotetsis tabularasa dibahas mengenai lima kategori respons
bahasa yaitu mands, tacts, echois,
textual dan intraverbal operant.
Hipotesis tabularasa yang berbicara
banyak mengenai stimulus-respons terjadi pula pada penderita afasia motorik
kortikal. Namun yang membedakan
prosesnya dengan manusia normal adalah cara ia merespons stimulus. Ia memiliki keterbatasan dalam ekspresi
verbal maka respon yang ia berikan bukanlah berupa perkataan atau ucapan,
melainkan berupa isyarat atau melalui tulisan. Gangguan berbahasa afasia
motorik kortikal memngubah cara seseorang dalam bersikap. Dengan memanfaatkan
secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan penderita
afasia masih bisa bekomunikasi dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aphasia, Association
International. 2012. “Apakah Afasia?”. (Online) http://www.afasie.nl/aphasia/pdf/26/brochure1.pdf. Diakses 18 Desember 2012.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowijodjo,
Soenjono. 2005. Psikolinguistik:
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Indah, Rohmani Nur dan
Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik:
Konsep dab Isu Umum. Malang:
UIN-Malang Press.
Lestari, Endang Sri dan
Idun Kistinnah. 2009. Biologi 2: Makhluk
Hidup dan Lingkungannya. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Prameswari, Anggun.
2011. “Aphasia, Apa Lagi Sih?”. (Online) http://a11no4.wordpress.com/tag/gangguan-pervasif/. Diakses 14 Desember 2012.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1989. Pertemuan Linguistik Lembaga Atma
Jaya: Kedua. Jakarta: Kanisius.
Shinta, Qorinta. 2010. “Pemerolehan
Pragmatik dalam Bahasa Anak Studi Kasus Prinsip Kerja Sama – Maksim Grice pada
Anak Usia enam (6) Tahun”. (Online) www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fbib1/article/download/423/pdf. Diakses 15 Desember 2012.
Welly.
2012. “Penyakit Afasia”. (Online) http://missyellarose.blogspot.com/2010/02/5-penyakit-afasia.html. Diakses 15 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar