Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6
Februari 1925 di Kampung Jetis, Blora Jawa Tengah sebagai anak sulung dari
Sembilan bersaudara. Ayahnya bernama
Mastoer, seorang guru dan ibunya bernama Oemi Saidah, seorang ibu rumah tangga. Sewaktu kecil, Pram sudah terlihat sebagai
anak yang pintar mengumpulkan teman-temannya, banyak akal dan berani mencoba
apapun dalam segala hal. Namun, masa
kecilnya juga tertindas oleh perlakuan ayahnya yang terlalu keras dan
berdisiplin tinggi. Rasa tertekan,
terkucilkan, tertindas, dan minder yang akut akhirnya mendorong Pram untuk
menulis.
Pram memulai pendidikannya di SD
Blora. Namun ia pernah tiga kali tidak
naik kelas sehingga membuat ayahnya malu dan mengatakannya sebagai anak yang
bodoh. Ayahnya tidak mau
menyekolahkannya lebih lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Akhirnya ibunya lah yang menyekolahkan dan
membiayai Pram untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah telegraf (Radio
Vackschool) Surabaya tanpa sertifikat karena kedatangan Jepang.
Di
masa ia muda ketika kondisi negara sedang dijajah baik oleh Belanda maupun
Jepang, Pram melakukan perjuangan melawan penjajah. Pram sering mengikuti
kelompok militer di Jawa dan ditempatkan di Jakarta pada akhir perang
kemerdekaan. Tidak hanya berjuang untuk
negara, Pram juga berjuang untuk keluarga.
Pada usia 17 tahun, ibunya menderita sakit TBC dan akhirnya meninggal di
tahun 1942. Ayahnya pun kesulitan bekerja sebagai guru karena kedatangan Jepang
yang menyebabkan ia kehilangan mata pencahrian. Pram harus menafkahi
keluarganya. Ia bekerja sebagai wartawan
di kantor Jepang, kemudian menjadi stenograf, lantas menjadi jurnalis yang handal. Ia juga pernah bergabung dalam BKR.
Mengenai asmaranya, Pram sempat
mengalami kisah tragis. Pernikahan
pertamanya yang memilki tiga orang anak kandas.
Ia ditolak oleh mertua dan istrinya akibat hanya menggantungan diri pada
kegiatan menulis untuk menafkahi keluarga. Gaji yang diterima saat bekerja di
Balai Pustaka dianggap tidak mencukupi. Pram pun bercerai dan kembali menikah
dengan perempuan lain bernama Maemunah.
Pernikahan keduanya ini membuahkan sembilan orang anak.
Ketika
bangsa Indonesia yang telah merdeka akan kembali dijajah oleh Belanda (Agresi
militer: 21 Juli 1947), Pram bergabung dengan kalangan nasionalis. Ia mencetak serta menyebarkan pamflet dan
majalah perlawanan. Tindakan ini
membawanya ke dalam penjara tahanan Belanda di Bukit Duri tanpa proses yang
wajar dan selanjutnya di Pulau Damar (Edam).
Ia disisksa oleh satu peleton dan barang-barang di rumahnya disita. Di dalam penjara, Pram mendapatkan banyak
pengalaman hidup seperti belajar pasrah kepada tuhan, perjuangan, hingga
belajar bahasa asing seperti Inggris, Belanda dan Jerman secara otodidak,
termasuk belajar sosiologi, filsafat dan ekonomi. Ia juga banyak menelurkan sejumlah karya seperti
Perburuan dan Dia yang Menyerah. Akhir Desember 1949, Pram dibebasan bersama kelompok
tahanan terakhir.
Kehidupan Pram pada masa peralihan dari
Orde Lama ke Orde Baru menjadi titik balik kehidupannya. Jika pada zaman Orde
Lama ia menjadi titik puncak tokoh sastrawan terkemuka yang menyerang dengan
kekuatan ideologi sastranya, maka ada zaman Orde Baru ia dijebloskan ke dalam
penjara Salemba lalu ke penjara Tangerang.
Pram dianggap sebagai simbol perlawanan dan korban kekerasan rezim
Soeharto. Di sini lah karya-karya Pram
mulai banyak bermunculan. Hal ini
berlajut hingga masa Reformasi. Pram
sering sekali menjadi pembicara dalam seminar-seminar berbau kenegaraan.
Satu hal yang membuat nama Pramoedya
Ananta Toer menjadi besar adalah pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme,
demokrasi, pluralisme, pendidikan, perempuan dan agama. Secara garis besar, pemikiran Pram mengenai nasionalisme
dikaitkan dengan bentuk Indonesia sebagai negara maritim dan otonomi daerah
sebagai bentuk pemerintahannya. Sedangkan pemikirannya tentang demokrasi, Pram
berhasil menerapkan kebebasan berpendapat dalam kalangan Lekra yang
bertentangan dengan kaum komunis.
Mengenai pemikiran pluralisme, Pram bersikap terbuka terhadap persoalan
agama dan rasa tau etnis. Kemudian pemikirannya dalam pendidikan, ia mengkritik
sistem pendidikan yang memposisikan guru subjek sekaligus objek yang mutlak di
dalam kelas. Untuk pemikirannya mengenai
perempuan, Pram menunjukkan bagaimana ia memiliki perhatian yang besar terhadap
kaum yang dianggapnya tangguh meski dalam kondisi tertindas. Semua pemikiran-pemikirannya itu
dituangkannya dalam bentuk karya tulis fiksi maupun non fiksi.
Banyaknya karya tulis yang lahir dari
sosok Pramoedya Ananta Toer menjadikannya sebagai salah satu sosok sastrawan
terkemuka baik di Indonesia maupun dunia.
Ia berkali-kali dan masuk sebagai nominasi penerima pengahargaan Nobel
mapupun penghargaan-penghargaan lain dalam bisang sastra baik nasional maupun
internasional. Sejumlah karya fiksinya
yang terkenal anatara lain: Sepuluh
Kepala Nica (1946), Bukan Pasar Malam
(1951), Midah Si Manis Bergigi Emas
(1955), Mangir (2000), Jalan Daendeles dan lain-lain. Sementara itu, karya puisinya diantaranya Antara Kita (Siasat) (1949), Anak Tumpah Darah Indonesia (1951) dan
lain sebagainya. Ada pula karya
terjemahan (Tikus dan Manusia, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu, Ibunda, dll) dan karya nonfiksi (Kronik Revolusi, Surat kepada Keith Foulcher,
dll).
Ciri khas karya-karyanya antara lain
mengambil persoalan tema biografi seseorang, kebanyakan menguraikan persoalan
sejarah, bertendensi pada kemanusiaan dan nilai-nilai humanis, dan menganut
aliran realisme sosial. Selayaknya
kebanyakan sastrawan di Indonesia yang merupakan perokok berat, Pram juga
termasuk di dalamnya. Pram juga
merupakan sosok yang humoris dengan berbagai celetukan kata-katanya yang
mengundang tawa atau setidaknya segaris senyum.
Pramoedya
tidak pernah puas menulis. Ia menulis hingga di usia senjanya. Namun mulai Januari 2006 kondisi kesehatannya
menurun aakibat penyakit diabetes, sesak napas dan jantung. Pada 6 Februari
2006 digelar acara pameran buku mengenai Pram sebagai bentuk penyemangat hidup
sekaligus sebagai hadiah ulang taun Pram ke-81. Setelah lama mengidap berbagai
penyakit, penyakit tua dan beberapa kali keluar-masuk rumah sakit, pada 30
April 2006 pukul 08.55 WIB Pramoedya Ananta Toer wafat. Ia meninggalkan seorang istri, delapan anak
dan lima belas cucu. Banyak hal yang
dapat kita pelajari dari sosok Pramoedya Ananta Toer, diantaranya belajar
berbangsa dan keindonesiaan, belajar mengarang dan belajar mengenai arti
kehidupan.
Daftar Pustaka :
Rifai, Muhammad. 2010. Pramoedya Ananta Toer:
Biografi
Singkat (1925-2006). Yogyakarta:
Garasi House of Books.
Informasi yang sangat membantu :)
BalasHapusterima kasih atas informasinya yg sangat membantu saya dalam belajar😊
BalasHapusngefans banget sama nama anak saya Pramudya
BalasHapusTerima kasih
BalasHapus