Senin, 21 Oktober 2013

ANALISIS PERBANDINGAN DEKONSTRUKSI SIMBOLISME DALAM CERPEN “KARANGAN BUNGA DARI MENTERI” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DAN CERPEN “ULAT DALAM SEPATU” KARYA GUS TF SAKAI



Abstrak
Artikel ini membahas mengenai perbandingan cerita pendek (cerpen) “Karangan Bungan dari Menteri dan” karya Seno Gumira Ajidarma dan cerpen “Ulat dalam Sepatu” karya Gus TF Sakai dengan menggunakan teori dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi adalah metode membaca teks sangat
hati-hati sehingga perbedaan penemuan konseptual oleh penulis yayasan teks tampak konsisten dan paradoks dalam penggunaan konsep dalam teks secara keseluruhan. Kehadiran dekonstruksi telah memungkinkan teks untuk memiliki multi makna. Teks sastra dipandang sebagai sangat kompleks. Seno dan Gus mengandalkan pemahaman berbeda mengenai simbolisme yang hadir dalam cerpennya masing-masing di luar struktur ceritanya sendiri sehingga membuat cerpen mereka menjadi lebih unik dan menarik. Sebagai objek dekonstruksi, kedua cerpen ini sarat akan unsur sindiran maupun kritikan terhadap pemerintahan yang disajikan dengan cara yang cukup halus namun terbuka.

Kata kunci: perbandingan, dekonstruksi, simbol, cerpen

PENDAHULUAN
Sebagai cerminan kehidupan masyarakat, karya sastra merupakan dunia subjektivitas yang diciptakan oleh pengarang. Di dalamnya terdapat berbagai aspek kehidupan yang satu sama lainnya saling berkaitan. Aspek kehidupan tersebut berupa aspek psikologis, sosiologis, filsafat, budaya dan agama. Berbagai aspek ini tidak lepas dari pengarang sebagai pusat penciptaan sebuah karya sastra.
Kehidupan dunia sastra yang terus berkembang dari masa ke masa terus mendapat perhatian dengan banyaknya penelitian-penelitian terhadap karya sastra.  Sayangnya hingga saat ini penelitian karya sastra masih cenderung berat sebelah.  Maksudnya, kebanyakan penelitian masih terbatas pada teks sastra, sehingga hasil penelitian cenderung bersifat deskriptif belaka. Wajah penelitian sastra semacam ini dapat dikatakan mendewakan hadirnya penelitian instrinsik, yaitu upaya membedah karya sastra itu sendiri. Penelitian model ini lebih mengarah kepada kepentingan sastra untuk sastra.
Pemahaman karya lewat karya itu sendiri memang bukan hal yang salah, namun ada unsur di luar sastra yang patut pula dipertimbangkan yaitu unsur ekstrinsik.  Di Indonesia, penelitian ekstrinsik terhadap karya sastra yang berkembang kebanyakan masih di seputar sosiologi sastra dan atau strukturalisme genetik. Padahal, masih banyak aspek lain yang dapat dikaitkan dengan penelitian seperti filsafat, politik, postmodern, dekonstruksi dan lain sebagainya.
            Karya sastra merupakan tumpahan ide dan pemikiran juga pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Oleh karena itu penelitian sastra melalui kajian ekstrinsik tentunya tidak terlepas dari pengarang karya sastra tersebut. Tentunya setiap pengarang memiliki ciri khas masing-masing  dalam menyampaikan ide, pemikiran dan pesannya.  Dalam hal ini, sastra bandingan dianggap menjadi kajian akademik yang menarik untuk dilakukan sebuah penelitian sastra.
            Endraswara (2003: 128-129) mendefinisikan sastra perbandingan sebagai wilayah keilmuan sastra yang mempelajari keterkaitan antar sastra dan perbandingan sastra dengan bidang lain. Jalin-menjalin antar karya sastra sangat dimungkinkan, karena setiap pengarang menjadi bagian dari pengarang lain. Setiap pengarang sulit lepas dari karya orang lain, karena mereka harus membaca dan meresepsi karya orang lain.
            Dalam kajian sastra bandingan, selalu diperlukan kaidah-kaidah teoritis yang berhubungan dengan ilmu sastra. Di samping itu, sastra bandingan juga dimungkinkan membandingkan antara sastra dengan bidang lain yang relevan seperti sejarah, filsafat, agama, dan sebagainya. Kedua belah pihak kadang-kadang saling mendukung, ada titik temu, dan sebaliknya juga ada yang berseberangan.
            Mengingat perlunya kaidah-kaidah teoritis dalam penelitian sastra bandingan, penulis memilih mengkaji karya sastra dari sisi ekstrinsik berdasarkan teori dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis bernama Jacques Derrida yang lahir di Aljazair pada tahun 1930. Sarup (2008: 49) menjelaskan teori dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah metode membaca teks secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang menjadi landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan konsep-konsepnya dalam teks secara keseluruhan.  Teks tersebut dikatakan gagal memenuhi kriterianya sendiri; standar atau definisi yang dibangun teks digunakan secara reflektif untuk mengguncang dan menghancurkan pembedaan konseptual awal teks itu.
            Dekonstruksi memang berpusat pada teks, namun paham yang dipegang lebih luas. Teks tidak dibatasi maknanya. Kehadiran dekonstruksi telah memungkinkan sebuah teks memiliki multi makna. Multi makna biasanya lahir dari banyaknya pemahaman dari simbol-simbol yang terdapat dalam sebuah karya sastra.  
            Nama Seno Gumira Ajidarma dan Gus TF Sakai di dunia sastra khususnya cerpen memang sudah tidak  asing lagi. Seno dan Gus merupakan pengarang cerpen yang sudah memiliki banyak karya terkenal yang ditebitkan secara nasional. Kedua pengarang ini sama-sama sering menghadirkan simbol-simbol penyampai ide, pemikiran dan pesan dalam karya sastranya.  Seperti halnya Seno dalam cerpennya “Karangan Bunga dari Menteri” menghadirkan simbol berupa karangan bunga, sedangkan Gus menghadirkan simbol berupa sepatu yang penuh ulat dalam cerpennya “Ulat dalam sepatu”.  Hal menariknya, kedua pengarang ini sama-sama menyuguhkan latar pemerintahan dengan simbol-simbol sebagai ide penceritaan sehingga kedua cerpen inilah yang nantinya akan dikaji.
            Secara umum, alasan pemilihan bahan kajian ini dikaitkan dengan latar belakang kedua pengarang yang sama-sama sudah memiliki nama di dunia cerpen nasional. Tentunya tidak menutup kemungkinan apabila antara satu sama lain saling memberi pengaruh dalam kepenulisan cerpennya.  Berdasarkan penjabaran di atas, maka penulis akan mempersembahkan sebuah karya tulis dengan judul “Analisis Perbandingan Simbolisme dalam Cerpen “Karangan Bungan dari Menteri” Karya Seno Gumira Ajidarma dan Cerpen “Ulat dalam Sepatu” Karya Gus TF Sakai”.
             
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan diperbandingkan cerpen yang berjudul “Karangan Bunga dari Menteri” karya Seno Gumira Ajidarma dengan cerpen yang berjudul “Ulat dalam sepatu” karya Gus TF Sakai. Cerpen karya Seno Gumira Ajidarma termuat dalam harian nasional “Kompas” dan juga diposting ke dalam sebuah blog yang memuat cerpen-cerpen yang pernah diterbitkan dalam harian tersebut, sedangkan cerpen karya Gus TF Sakai termuat dalam buku Sastrawan Bicara Siswa Bertanya yang diterbitkan oleh Majalah Sastra Horison.
            Metode yang digunakan dalam kajian ini yakni metode penelitian kualitatif induktif.  Maksudnya, pengkaji berangkat dari pembacaan dan pemahaman naskah karya sastra (cerpen) secara umum, kemudian mengidentifikasi titik mirip atau dengan kata lain pengkaji mencoba mendeskripsikan dan melihat kemiripan yang terdapat di antara dua karya terlebut. Lebih khususnya lagi, titip mirip yang menjadi tinjauan bukanlah dari sisi intrinsik cerpen, melainkan dari sisi ekstriksik berupa dekonstruksi. Selanjutnya pengkaji menentukan gejala-gejala kemiripan yang terjadi dengan cara penafsiran  tersendiri dengan data-data yang mendukung.
PENDEKATAN
            Kajian ini akan membahas mengenai karya sastra berupa cerpen yang ditinjau dari segi dekonstruksi. Dekonstruksi dalam kajian ini pun difokuskan pada simbol-simbol yang ada dalam cerpen. Ada dua cerpen yang dikaji untuk selanjutnya dibandingkan atau yang biasa disebut tinjauan sastra bandingan.
Konsep Sastra Bandingan
            Sastra bandingan adalah suatu kajian yang mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dilihat dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingankan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat satra bandingan menurut wilayah geografis sastra.
            Sastra bandingan, menurut Giffod (dalam Endraswara, 2003:128) merupakan kajian yang berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), penggantian (alternation), pengembangan (development), dan perbedaan timbal balik di antara dua karya sastra atau lebih. Sastra bandingan akan terkait dengan ihwal tema dan ide sastra. Berarti studi ini merupakan penelitian sastra yang tidak gersang dan membosankan, sebab di dalamnya banyak hal yang menggelitik.
            Endraswara (2003: 129-140) memaparkan berbagai hal terkait dengan sastra bandingan sebagai berikut. Tujuan sastra bandingan terbagi menjadi enam, antara lain sebagai berikut. Pertama, untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra. Kedua, untuk menentukan makna karya sastra yang benar-benar orisinal dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra. Ketiga, untuk menghilangkan kesan bahwa karya sastra nasional tertentu lebih hebat dibanding karya sastra nasional yang lain. Dalam kaitan ini karya sastra dipandang  memiliki kedudukan yang setingkat. Keempat, untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karya sastra satu dengan yang lainnya. Hal ini sekaligus untuk melihat buah pikiran kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Kelima, untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal dalam sastra. Keenam, untuk menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan keindahan karya sastra.
            Pada dasarnya, studi sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1) affinity (pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2) pengaruh karya sastra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lainnya dan sebaliknya. Dua hal tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beberapa lingkup studi, antara lain: (1) perbandingan antara karya pengarang satu dengan lainnya, pengarang sezaman, antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya; (2) membandingkan karya sastra dengan bidang lain seperti arsitektur, pengobatan tradisional, tahayul, dan seterusnya; dan (3) kajian bandingan yang bersifat teoritik, untuk melihat sejarah, teori, dan kritik sastra.
            Studi sastra bandingan yang menyangkut dua karya sastra atau lebih hendaknya menekankan pada empat hal, yaitu pengaruh, penetrasi, dan popularitas. Pengaruh adalah daya dukung pengarang atau karya sastra pada suatu negara kepada karya lain. Pengaruh ini merupakan hal paling sentral dalam kajian sastra bandingan. Penetrasi yaitu perembesan pengaruh satu karya sastra ke dalam karya sastra lain. Adapun popularitas dan reputasi menyangkut kemashuran nama seorang pengarang dan karyanya.
            Sastra bandingan juga dapat meliputi aspek pengaruh, sumber ilham (acuan), proses pengambilan ilham atau pengaruh itu, dan tema dasar. Dalam kaitannya ini, ada empat kelompok kajian sastra bandingan jika dilihat dari aspek objek garapan yaitu (1) kategori yang melihat hubungan karya satu dengan karya yang lainnya, dengan menelusuri juga kemungkinan adanya pengaruh satu karya terhadap karya yang lain (termasuk di sini adalah interdisipliner dalam sastra bandingan seperti filsafat, sosiologi, agama, dan sebagainya); (2) ketegori yang mengkaji tema karya sastra; (3) kajian terhadap gerakan atau kecenderungan yang menandai suatu peradaban; dan (4) analisis bentuk (genre) karya sastra.
            Secara garis besar sastra bandingan dapat dibedakan menjadi dua golongan bentuk kajian, yaitu (1) kajian persamaan dan (2) kajian konsep pengaruh. Kajian persamaan menjawab masalah alasan ataupun penyebab terjadinya kesamaan (sengaja atau ketidaksengajaan). Konsep pengaruh membahas mengenai anggapan bahwa suatu karya dapat terlahir atas pengaruh karya sebelumnya yang dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu (1) perkembangan karir pengarang, (2) proses  penciptaan pengarang, dan (3) tradisi atau budaya pengarang.
Konsep Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode membaca teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada perjalanannya selanjutnya dia sangat bermuatan filosofis adalah unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar, pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah, ataupun presmis yang tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme, melainkan unsur yang secarafilosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis (Norris, 2003: 12).
Tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi ialah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut. Ia berusaha menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Langkah-langkah dekonstruksi terbagi manjadi tiga sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan yang mana yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilisenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.
            Cara baca Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar sistem perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya. Pembacaan dekonstruktif lalu hendak menunjukkan ketidakberhasilan ambisi filsafat untuk lepas dari tulisan, yaitu menunjukkan agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Oleh karena itu, Derrida meyakini bahwa di balik teks filosofis yang terdapat bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain. Suatu jaringan keragaman kekuatankeuatan yang pusat referensinya tidak jelas.
            Tugas dekonstruksi menurut Derrida adalah untuk menghilangkan ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika barat yaitu ide yang mengatakan rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni yang otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. Dekonstruksi Derrida ingin memerdekakan kembali kekuatan bahasa dengan memaksimalkan permainan tanda yang kurang banyak mendapat perhatian dari kaum strukturalis dan bahkan cenderung dihindari. Derrida selalu melihat bahasa sebagai medan di mana makna dan tanda berebut untuk tampil ke permukaan teks.
            Menurut teori bahasa Derrida, penanda (signifier) tidak berkaitan langsung dengan
petanda (signified). Petanda dan penanda tidak berkorespondesi satu-satu. Menurut pemikiran Saussure, tanda dilihat sebagai satu kesatuan, tetapi menurut Derrida, pada kenyataannya kata dan benda atau pemikiran tidak pernah menjadi satu. Derrrida melihat tanda sebagai struktur perbedaan: sebagian darinya selalu “tidak di sana”, dan sebagian yang lain selalu “bukan yang itu”. Dengan kata lain, Derrida mengatakan ketika membaca suatu penanda, makna tidak serta merta menjadi jelas. Penanda menunjuk apa yang tidak ada, maka dalam arti tertentu makna juga tidak ada. Makna terus menerus bergerak di sepanjang mata rantai penanda, dan tidak dapat dipastikan “posisi” persisinya, karena makna tidak pernah terikat pada satu tanda tertentu. Makna tidak pernah identik dengan dirinya sendiri karena muncul pada konteks yang berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama. makna tidak akan pernah sama dari satu konteks ke konteks yang lain. Petanda akan selalu diubah oleh berbagai macam mata rantai yang menjeratnya (Sarup, 2008: 47).
Konsep Simbol
            Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari bahasa Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimi (metonimy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya (misalnya Si kaca mata untuk seseorang yang berkacamata) dan metafora  (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia) (Kridalaksana, 2001:136-138).
            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan suatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi merupakan lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga negara Republik Indonesia. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol yang tertuliskan sebagai bunga, misalnya, mengacu dan mengemban gambaran fakta yang disebut “bunga” sebagai sesuatu yang ada di luar bentuk simbolik itu sendiri (Sobur. 2009: 156).
            Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian, berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran pemakain, (2) kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya.

SINOPSIS
Sinopsis Cerpen “Karangan Bunga dari Menteri” Karya Seno Gumira Ajidarma
            Seorang wanita separuh baya bernama Siti merasakan mual dan ingin muntah, namun tak ada sedikitpun isi perutnya yang bisa ia muntahkan. Hal yang membuat ia ingin muntah adalah kisah kehidupan seorang menteri yang seolah mewaliki kehidupan menteri-menteri pada umumnya. Siti yang pernah diajari cara menulis naskah ketika masih SMU menggambarkan adegan di kantor seorang menteri.
            Dalam penggambaran Siti, ada seorang sekretaris tua yang sudah bekerja melayani lima orang yang silih berganti menduduki jabatan sebagai menteri. Ia membawa tumpukan surat yang sudah dipilahnya ke ruangan menteri. Menteri pun kesal melihat surat-surat yang kebanyakan berupa surat undangan perkawinan.  Ia kesal karena terlalu sering mendapat surat undangan perkawinan dari orang-orang yang bukan saudara dan bukan pula sahabat ataupun kerabat. Orang-orang yang ia tidak kenal baik.  Sang menteri merasa bahwa hadir ke dalam pesta perkawinan bukanlah sesuatu hal yang penting dibandingkan ia yang harus lembur dengan tugas-tugas kementriannya. Sang menteri kemudian menyuruh sekretarisnya untuk mengirimkan karangan bunga kepada orang-orang yang telah mengundangnya sebagai ganti kehadirannya. Di sisi lain, orang-orang yang menerima karangan bunga itu pun merasa amat bangga dan sengaja dipamer-pamerkan kepada setiap tamu yang datang. Ternyata, hal itu pula lah yang dilakukan oleh suami Siti ketika acara pernikahan anak mereka.
Sinopsis Cerpen “Ulat dalam Sepatu” Karya Gus TF Sakai
            Seorang lelaki tukang ukir bernama Khairul Safar mendapat undangan dari panitia pameran di Jakarta. Namun, ia tidak memiliki dana untuk dapat berangkat ke Jakarta. Kemudian, Pak Hasril menyarankannya untuk mengajukan dana kepada pihak pemda atau gubenrnur. Beberapa kali ia datang ke kantor gubernur namun pegawainya mengatakan bahwa atasannya (pejabat) belum ada waktu untuk mengurusi permintaan Khairul.  Pejabat itu terlalu sibuk dengan urusannya yang lain.
            Hal yang menarik setiap kali Khairul datang ke kantor gubernur itu adalah adanya sepasang sepatu butut yang tergeletak di suatu sudut kantor.  Setiap kali ia datang ke kantor itu, sepatu itu selalu ada dengan posisi yang tidak berubah. Suatu waktu ia penasaran dengan sepatu itu dan mencoba mengangkatnya. Anehnya sepatu itu tidak bergerak saat diangkat dan seolah tertanam ke karpet. Selain itu, hal yang mengejutkan Khairul adalah ketika dari sepatu itu bermunculan ulat-ulat yang amat banyak dan menjijikkan. Ia pun pergi dari kantor itu dengan perasaan heran.
            Hari berikutnya Khairul kembali ke kantor gubernur karena urusannya tak kunjung selesai. Ia menyadari ada perubahan warna dinding dari putih menjadi kelabu. Alangkah terkejutnya ia ketika dinding itu diraba yang terasa adalah sesuatu yang lembek dan basah. Warna kelabu di dinding itu ternyata ulat. Ulat-ulat sudah menyebar ke seluruh bagian gedung kantor.  Khairul memutuskan keluar dan tidak mengurusi pengajuan dananya lagi. Dipandangnya gedung kantor gubernur itu yang kian bulan dan kian tahun semakin tampak kelabu. Tidak hanya Khairul, ia merasa bahwa orang-orang juga memandang aneh ke gedung itu. Namun, ketika tanpa sadar Khairul bergumam, “Ulatnya. Ulatnya semakin banyak”, orang-orang memalingkan muka  dan menatapnya tajam.

ANALISIS CERPEN
Dekonstruksi Simbolisme dalam Cerpen “Karangan Bunga dari Menteri”
            Cerpen “Karangan Bunga dari Menteri” merupakan cerpen yang sarat dengan kritikan sosial terhadap kehidupan para petinggi atau pejabat negara. Dalam hal ini Seno selaku pengarang menyimbolkannya dalam sosok seorang menteri yang sangat sibuk dengan urusan pekerjaannya sehingga menganggap undangan-undangan perkawinan yang dialamatkan padanya tidaklah penting. Hal tersebut dapat diamati dari kutipan berikut.
“Heran, bukan sanak bukan saudara, bukan sahabat apalagi kerabat, cuma kenal gitu-gitu aja, kite-kite disuru dateng setiap kali ada yang anaknya kawin. Ngepet bener. Mereka pikir gue kagak punya kerjaan apa ya? Memang acaranya selalu malam, tapi justru waktu malam itulah sebenarnya gue bisa ngelembur dengan agak kurang gangguan. Negeri kayak gini, kalau menteri-menterinya nggak kerja lembur, kapan bisa mengejar Jepang?”
            Melalui cerpennya ini, jika ditelaah dari segi dekonstruksi maka ide yang ingin dikemukakan oleh Seno bukanlah seperti yang tampak dari segi struktur atau intrinsiknya. Ada sesuatu yang lain di luar itu. Secara struktural, cerpen ini tidak mempunyai sesuatu yang berbeda dengan cerpen lainnya. Penggambaran tokoh, alur, dan seting tampak biasa-biasa saja. Bila dilihat sepintas lalu, cerpen ini tampaknya sederhana, hanya menceritakan tentang seorang menteri yang selalu mendapatkan banyak undangan dan berinisiatif mengirim karangan bunga kepada orang-orang yang mengundangnya sebagai pengganti kehadirannya.
Hal yang menarik sebenarnya  adalah kemampuan Seno dalam mengolah ide dengan melihat sisi lain dari kehidupan para petinggi negara sebagai ide dalam penulisan cerpen ini.
            Mengikuti langkah-lahkah metode dekonstruksi, mulai dari hal yang pertama yakni mengidentifikasi peristilahan yang diistimewakan. Jika membaca judul cerpen ini, tergambar ide yang diwakili oleh dua simbol, yakni istilah karangan bunga dan menteri yang dimana keduanya saling berintegrasi. Selanjutnya, kedua simbol ini dibalik atau dikeluarkan dari makna strukturnya sehingga diperoleh gagasan baru.
            Karangan bunga bukanlah karangan bunga dalam arti sebenarnya. Karangan bunga dalam cerpen ini merupakan simbol penghormatan sekaligus ketidakpedulian. Disebut sebagai simbol penghormatan karena sang pengirim (menteri) sengaja mengirimkan karangan bunga kepada orang-orang yang mengundangnya pada acara pesta pekawinan sebagai pengganti ketidakhadirannya agar mereka tidak kecewa.  Orang-orang yang menerima pun dengan senang hati menerima dan bahkan memamerkan karangan bunga tersebut kepada tamu-tamu undangan lain yang hadir.
Siti jadi mengerti, tak jadi soal benar jika tidak dihadiri menteri, asal para tamu melihat sendiri, bahwa memang ada karangan bunga dari menteri. Ini juga berarti para pengundang seperti berjudi, tanpa risiko kalah sama sekali, karena meski yang diundang adalah sang menteri, yang datang karangan bunganya pun jadi!
            Seorang menteri dalam cerpen ini tidak langung menunjukkan sebuah jabatan “menteri”, namun menjadi simbol para petinggi negara atau pejabat pemerintahan, di mana oleh karena jabatannya yang tinggi maka banyak orang yang menaruh rasa hormat padanya. Mereka juga akan merasa terhormat jika bisa dekat atau bahkan hanya sekadar kenal dengan orang yang memiliki jabatan tinggi di pemerintahan.
Sekretaris tua itu segera menghilang ke balik pintu. Menteri itu menggeleng-gelengkan kepala tak habis mengerti. Kadang-kadang orang yang mengawinkan anak ini tak cukup hanya mengirim undangan, melainkan datang sendiri melalui segala saluran dan berbagai cara, demi perjuangan untuk mengundang dengan terbungkuk-bungkuk, agar bapak menteri yang terhormat sudi datang ke acara pernikahan anak mereka.
            Seperti halnya karangan bunga, selain menjadi simbol kehormatan, menteri juga menjadi simbol ketidakpedulian para petinggi negara dengan masyarakat. Dalam cerpen ini, memang benar sang menteri mengirimkan karangan bunga sebagai ganti ketidakhadirannya kepada orang yang mengundangnya dengan alasan sibuk sebagai penghormatan. Namun ada sisi lain ingin digambarkan seno.  Para pejabat bisa saja mengirimkan karangan bunga hanya untuk menjaga citraan dirinya sebagai orang yang berkedudukan tinggi namun tetap nampak rendah hati dan berbaur dengan masyarakat. Di sisi lain, Seno juga mengungkapkan pola pikir masyarakat yang terlalu mengagung-agungkan para pejabat yang sebenarnya adalah pelayan masyarakat.
Dekonstruksi Simbolimse dalam Cerpen “Ulat dalam Sepatu”
            Senada dengan cerpen “Karangan Bunga dari Menteri”, cerpen “Ulat dalam Sepatu” juga dipenuhi dengan kritikan sosial terhadap kehidupan para pejabat pemerintahan.  Melalui cerpen yang juga terbilang sedernaha namun sarat makna ini, penulis mencoba menelaah dari segi dekonstruksi melalui simbol-simbol yang digunakan dalam cerpen ini.
            Simbol pertama yang disuguhkan oleh Gus selaku pengarang adalah seperti tertera pada judul yaitu ulat dan sepatu. Secara telaah dekonstruksi, maka ide yang disampaikan oleh Gus tidaklah seperti pada strukturnya yang menceritakan tentang seorang laki-laki yang harus bolak-balik kaontor gubernur untuk mengurus pengajuan dana dan kemudian melihat sepatu butut yang mengeluarkan begitu banyak ulat. Ulat-ulat yang keluar dari sepatu dan terus bertambah banyak sehingga memenuhi dinding gedung gubernur itu sesungguhnya merupakan simbol dari kebusukan.  Ulat tentunya hidup pada sesuatu yang busuk. Gus mencoba menyampaikan idenya mengenai betapa banyak hal-hal busuk yang ada di dalam pemerintahan. Sepatu butut yang berada di kantor gubernur menyimbolkan sesuatu yang tidak layak  ada dalam sebuah tempat yang bagus dan bisa disebut berkelas seperti halnya kantor gubernur.
            Hal-hal busuk itu atau halusnya hal-hal yang tidak layak itu salah satunya ia masukkan ke dalam cerita secara langsung, yakni buruknya pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Khairul, si tokoh utama harus berulang kali pulang-pergi ke kantor gubernur untuk mengurus pengajuan dana pemberangkatan dirinya ke Jakarta dalam rangka memenuhi undangan sebuah pameran ukiran.
Hari itu hari Senin. Saya kembali datang ke Kantor Gubernur, entah kali yang keberapa.  Ada sedikit ketenangan, dan juga harapan, karena perempuan itu Sabtu kemarin menjanjikan bahwa hari ini kemungkinan besar saya akan bisa bertemu dengan atasannya.
Urusan pelayanan masyarakat oleh pegawai pemerintahan dinilai buruk karena cenderung menyulitkan masyarakat. Khairul misalnya, sebagai masyarakat, urusan pengajuan dananya dipersulit dengan alasan bahwa orang yang berwenang (pejabat) untuk menyetujui sedang sibuk dan harus keluar kota. Setiap kali Khairul kembali mendatangi kantor gubernur, ia harus kecewa karena sang pejabat tak kunjung ada di tempat. Seringnya sang pejabat ke luar kota ini pun menelurkan  banyak pertanyaan. Apakah pejabat itu kerjanya selalu ke luar kota dan melupakan tugasnya di kantor? Apakah kepentingannya pergi ke luar kota itu memang lebih penting daripada kewajibannya melayani masyarakat? Apakah jadi pejabat itu enak karena dapat sering ke luar kota dan melimpahkan banyak tugas kepada pegawai bawahannya?
Masyarakat harusnya mendapat pelayanan yang baik dan tidak dipersulit dengan alasan apapun. Bagaimana pun juga, pegawai pemerintahan sekalipun ia pejabat pada hakikatnya adalah pelayan bagi masyarakat. Keburukan-keburukan semacam ini muncul dari hal-hal kecil yang tidak disadari, kemudian lama kelamaan terus berkembang, merebak, dan menular kemana-mana sehingga orang-orang dalam pemerintahan menganggapnya biasa saja.
Dinding itu, warna kelabu itu, ternyata bukanlah cat. Tetapi ulat. Ulat-ulat itu, ulat dalam sepatu kemarin, merayap dan mendekam memenuhi dinding. Benarkah ulat-ulat itu ulat kemarin? Kenapa jadi begitu banyak? Ribuan. Atau mungkin berjuta-juta.
“Ada apa, Pak?” Seorang pegawai yang kebetulan lewat tiba-tiba bertanya.
“Dinding ... ulat-ulat ... uat di dinding,” saya berkata gugup sambil menunjuk-nunjuk. Pegawai itu, perempuan juga, menoleh ke dinding tapi kemudian menatap saya dengan sinis dan berlalu.
Mungkin dalam kehidupan nyata, kebusukan-kebusukan yang ada dalam lingkup pemerintahan bukan hanya sekadar  pelayanan yang buruk terhadap masyarakat, melainkan juga seperti tindakan korupsi uang rakyat, kolusi dan nepotisme. Masyarakat luas pada umumnya sangat menyadari hal ini, namun di antara mereka banyak yang memilih bungkam dan acuh tak acuh. Bahkan lebih buruk, masyarakat jadi ikut ambil bagian dalam praktek-praktek kebusukan.

ANALISIS PERBANDINGAN
Identifikasi Titik Mirip
            Salah satu yang dicari dalam studi sastra bandingan adalah afinity (pertalian atau kesamaan). Kesamaan atau kemiripan kedua cerpen yang telah dianalisis bukan dilihat dari segi struktur, karena memang secara struktur kedua cerpen ini dihadirkan secara berbeda, baik itu cerita, penokohan dan sebagainya. Identifikasi titik mirip dalam kajian ini menggunakan metode dekonstruksi yang kemiripan-kemiripannya lebih dispesifikkan pada sisi pemakaian simbol-simbol. Kedua pengarang ini sama-sama menggunakan simbol yang menjadikan kritikan mereka terasa lebih halus. Kritikan disampaikan melalui simbol-simbol yang mewakili ide mereka. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pengarang senada dalam hal cara menyampaikan ide.  Berbicara mengenai ide, cerpen dari kedua pengarang ini pun memiliki kesamaan yakni sama-sama membahas permasalahan yang terjadi di dalam dunia pemerintahan dan interaksi antara orang-orang pemerintahan dengan masyarakat. Selain itu, maksud yang ingin disampaikan pengarang juga dinilai memiliki kemiripan.
Perbandingan Titik Mirip
Melalui cerpen “Karangan Bunga dari Menteri”, Seno Gumira Ajidarma mencoba mengungkap ide atau permasalahan yang berupa  kritik-kritik terhadap  pemerintah. Dalam hal ini, ia menghadirkan tokoh yang secara gamblang disebut menteri, yaitu seseorang yang menjabat sebagai kepala sebuah departemen (anggota kabinet) yang juga merupakan pembantu kepala negara dalam urusan (pekerjaan) negara. Simbol dari kedudukan yang tinggi. Hadirnya tokoh menteri di sini semakin menguatkan bahwa cerpen ini berusaha memberikan kritik terhadap pemerintah, dimana menteri merupakan bagian dari pemerintah negara yang memiliki kedudukan tinggi. Terlebih kritikan disampaikan dengan menggambarkan bagaimana kehidupan sebagai menteri yang merupakan tokoh terpandang dan sangat dihormati dalam masyarakat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
            Seperti pada cerpen Seno, Gus TF Sakai dalam cerpen “Ulat dalam sepatu juga mengungkapkan ide atau permasalahan yang berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah. Bedanya, jika Seno menegaskannya dengan menghadirkan tokoh seorang menteri, maka Gus memilih menghadirkan latar sebuah kantor pemerintahan (kantor gubernur) sebagai latar tempat. Dalam menyampaikan kritikannya, Gus menggambarkan sebuah kantor gubernur yang dipenuhi banyak ulat sebagai simbol keburukan.
            Perbandingan selanjutnya diarahkan pada  pemakaian teori dekonstruksi Derrida, yakni di dalam sebuah teks ada teks lain yang menunjukkan agenda tersembunyi yang dapat dibongkar. Pengarang memiliki maksud lain dari sekadar menyuguhkan sebuah cerita yang memang tertera secara nyata di dalam teks sebuah karya sastra. Maksud lain dari penceritaan dalam cerpen “Karangan Bunga dari Menteri” dan “Ulat dalam Sepatu” adalah mengajak pembaca untuk lebih membuka mata dan sadar bahwa mereka sedang hidup dalam kekacauan pemerintahan. Kondisi hubungan antara orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dalam pemerintahan dengan masyarakat biasa sering kali terjadi gesekan. Tidak selamanya hal yang terlihat baik itu memang baik. Bisa saja semua itu hanyalah kepalsuan belaka.
Di zaman sekarang ini, semakin sering terdengar oknum-oknum pejabat pemerintahan yang tersandung kasus. Misalnya saja yang paling naik daun adalah kasus korupsi, suap dan money laundry. Kasus-kasus yang berhasil terungkap disinyalir masih seperti fenomena gunung es. Sebenarnya masih banyak kasus-kasus yang belum terungkap namun masih tersembunyi dan tertutupi dengan rapi. Sayangnya hal-hal semacam ini lama-kelamaan dianggap wajar dan dibiarkan begitu saja oleh masyarakat. Padahal, masyarakat adalah pihak yang paling dirugikan oleh ulah oknum pemerintah yang nakal.
Penafsiran Perbandingan
            Tahap akhir kegiatan perbandingan adalah penafsiran hasil perbandingan. Penafsiran berarti penyikapan pengkaji terhadap adanya kemiripan-kemiripan di antara kedua objek kajian. Tugas dari tahap ini yaitu menjawab pertanyaan, mengapa terjadi kemiripan di antara kedua cerpen tersebut. Penafsiran terhadap hasil bandingan itu harus berdasarkan data-data yang menunjukkan sebab-sebab mengapa terjadi kemiripan. Oleh karena itu, sebelum menafsirkan hasil perbandingan dalam pembahasan ini, perlu diuraikan data dan pertimbangan untuk menentukan kedudukan dari kedua karya tersebut sebagai berikut. (1) Bahwa antara Seno Gumira Ajidarma sebagai pengarang cerpen “Karangan Bunga dari Menteri” dan Gus TF Sakai sebagai pengarang cerpen “Ulat dalam Sepatu” dimungkinkan terjadi kontak karena mereka merupakan pengarang cerpen yang sama-sama memiliki popularitas (sama-sama merupakan sastrawan nasional), sehingga memunculkan anggapan atau kemungkinan bila keduanya saling mempengaruhi dalam penciptaan karyanya. (2) Bahwa kondisi sosial kemasyarakatan yang menyangkut berbagai masalah pemerintahan yang sama-sama dijadikan sebagai ide cerita  menunjukkan perkembangan yang relatif sama, yakni masalah hubungan pemerintah dengan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, pada kajian perbandingan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma dan Gus TF Sakai menunjukkan kemiripan-kemiripan di luar strukturalnya, yakni  dari segi ide, penggunaan simbol-simbol, dan maksud pengarang. Seting sosial yang memungkinkan menghasilkan karya yang memiliki kemiripan. Secara psikologis, perkembangan pola pikir dan perilaku pengarang yang relatif sama juga memungkinkan menghasilkan bentuk dan substansi ekspresi yang relatif sama. Seno dan Gus dalam hal ini dinilai memiliki kemiripan pola pikir dan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial karena sama-sama sering menulis cerita yang berbau kritik sosial. Hal itulah yang mengakibatkan adanya kemungkinan munculnya karya-karya yang memiliki kemiripan pada aspek-aspek tertentu.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ini. Pertama, kedua pengarang sama-sama menggunakan simbol-simbol dalam karyanya.  Kedua, ide yang menjadi dasar penceritaan masing-masing karya memiliki kemiripan. Ketiga, secara dekonstruksi dapat dilihat kemiripan maksud pengarang dari sisi lain. Keempat, kedua pengarang memiliki kemiripan pola pikir dan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial.

DAFTAR RUJUKAN
Ajidarma, Seno Gumira. 2011. “Karangan Bunga dari Menteri”. (Online)  http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/09/karangan-bunga-dari-menteri/. Diakses 19 Oktober 2013.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: 2003.
Ismail, Taufik dkk. 2009. Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) 2009. Jakarta: Horison.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida (Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir). Yogyakarta: Arruz Media.
Sarup, Madan. 2008. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme (Terjemahan Medhy Aginta Hidayat). Yogyakarta: Jalasutra.
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.